Reviews tagging 'Grief'

Kapan Nanti by Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

1 review

clavishorti's review against another edition

Go to review page

dark emotional mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

Di antara hiruk-pikuk karya sastra lainnya, Kapan Nanti karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie adalah sebuah mutiara hitam yang mampu mengangkat tirai ke dalam dunia kompleksitas manusia dan kehidupan dengan cara yang tak terlupakan. Delapan cerita pendek yang terangkum dalam buku ini membentang layar lebar bagi kita untuk melihat jauh lebih dalam ke dunia anak-anak yang mempertanyakan asal-usul mereka, bahkan hingga ke pahitnya ketiadaan hampir-anak. Namun, tak hanya substansi ceritanya yang memikat. Judul-judulnya, seluruhnya dengan huruf ‘K’, menciptakan harmoni estetika yang menyelaraskan setiap cerita dengan presisi yang mengagumkan. Seolah-olah huruf itu sendiri menjadi semacam mantra yang membawa kita melalui lorong-lorong gelap imajinasi. 
 
Melalui Kapan Nanti, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie tak hanya menciptakan karya yang memanjakan indera estetika sastra, tetapi juga sebagai cermin yang memantulkan gambaran kompleksitas kemanusiaan. Buku ini memprovokasi pandangan kita terhadap esensi dari kehidupan itu sendiri, mengajak kita berkelana melalui labirin emosi dan pertanyaan yang menggelitik. Dengan setiap cerita yang mengusik dan mendalam, kita dihadapkan pada medan pikir yang membingkai esensi kemanusiaan. Setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda, oleh karena itu, interpretasi dari cerita-cerita ini pun dapat bervariasi, mengundang pembaca untuk menjelajahi makna-makna tersembunyi yang melampaui kata-kata yang tertulis. Di bawah, saya akan membawa Anda dalam perjalanan interpretasi pribadi saya terhadap setiap cerita. Ingatlah, di antara huruf-huruf terdapat alam bawah sadar yang membara, siap untuk menggugah pemikiran Anda. 
 

[ Fitur untuk menyembunyikan bagian yang mengandung bocoran cerita tidak berfungsi sebagaimana mestinya pada ulasan ini. Oleh sebab itu, bagian-bagian di bawah ini mengandung bocoran secara terbuka. Terima kasih atas pemahamannya. ]


1. Kabaret
 
Buku dibuka dengan cerita pendek berjudul “Kabaret” yang mengangkat jalinan narasi yang penuh dengan nuansa dan lapisan kehidupan. Melalui narasi tentang seekor kelinci yang hampir punya anak, ibu kelinci, dan kelinci pemberi anak, tersembunyi kompleksitas dilema yang menggugah pikiran. 
 
Dalam pesta ibu kelinci yang sarat dengan metafora, terbentanglah teka-teki yang memintal benang rasa ingin tahu dan interpretasi yang beragam. Dalam sudut pandang saya, kisah ini mencerminkan perjuangan seorang perempuan yang terperangkap dalam kehamilan di luar pernikahan, berusaha memutuskan nasib kehidupan yang dikandungnya. Meskipun akhirnya, dia memutuskan untuk mempertahankan janin dan melangkah ke pelaminan, yang digambarkan oleh kue tiga tingkat dan gaun putih, namun hampir-anaknya tersebut tetap menjadi pusat gosip dan tekanan sosial. Hal ini dapat terlihat dari adegan ketika semua kelinci yang datang ke pesta ternyata mencibir dan mencemooh. 
 
Dan kemudian, tiba-tiba, adegan tak terduga hadir dengan kejutan yang sangat mengejutkan. Sang kelinci melakukan tindakan ekstrem yang menciptakan aura misteri dan ketegangan yang menyelubungi cerita ini. Pernyataan yang tersisip memperlihatkan pertarungan antara emosional dan moral yang membebani karakter utama, memperlihatkan betapa sulitnya mengambil keputusan dalam kehidupan yang begitu kompleks. 
 
Tak hanya itu, kedalaman makna juga tersirat dari tokoh-tokoh seperti Mamak dan tiga anak dalam narasi ini. Mereka, sepertinya, menjadi simbol metaforis dari seorang ibu dengan tiga janin yang menghuni rahimnya. Dan ketika daun sirih diangkat sebagai elemen penghubung, mengaitkan senyuman Mamak dengan eksistensi ketiga anak ini, kita dapat merasakan bahwa Mamak mungkin awalnya merencanakan untuk mengakhiri kehamilannya. Tiga janin ini menanti di dalam rahim. “Badan kami mulai berpisah,” menjadi metafora dari kelahiran, ketika akhirnya mereka lahir ke dunia. 
 
Di sisi lain, ada juga interpretasi yang menyebutkan bahwa ketika ketiga anaknya memberikan daun sirih, si Mamak dengan cepat memakannya dan akhirnya mengalami keguguran. Inilah mengapa wajah si Mama tak lagi tersenyum. “Badan kami mulai berpisah,” juga menjadi simbol dampak dari pilihan berat yang telah diambil oleh si Mamak untuk mengakhiri kehamilannya. 
Klimaks dari cerita ini memuncak dengan pernyataan mengenai kelinci yang akan hadir di mimpi mereka suatu hari nanti, menunggu hingga mereka merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya, tanpa topeng. Entah itu dalam pesta dengan kue tiga tingkat atau melarikan diri dengan kereta kuda. Kedua simbol ini, sebagaimana digambarkan dalam cerita kelinci sebelumnya, menyiratkan pilihan-pilihan hidup yang beragam, membentang di depan mereka, menunggu untuk diambil di masa depan. Dalam kontras antara keduanya, tergambarlah kompleksitas pilihan hidup. 
 
“Kabaret” membawa kita ke dalam dunia di mana manusia sering kali menyembunyikan diri di balik topeng sosial. Seperti pertunjukan kabaret yang memadukan berbagai elemen seni, cerita ini menggambarkan kompleksitas kehidupan. Para karakter menggunakan topeng sebagai simbol peran sosial yang mereka mainkan. Ini adalah pengingat untuk tidak menilai seseorang dari penampilan fisik atau interaksi sosial saja, melainkan untuk melihat lebih dalam ke hati dan jiwa mereka. 
 
Cerita ini menggali tema-tema seperti keputusan hidup, moralitas, dan konflik emosional. Setiap halaman mengandung lapisan emosi dan makna yang mendalam. Pengungkapan akhir membawa elemen kejutan, mempertegas kompleksitas karakter dan alur cerita. “Kabaret” adalah karya yang memikat, memicu refleksi tentang hakikat manusia dan dinamika sosial. 

 
2. Kin (Si Kurang Ajar)

Dalam cerita pendek “Kin (Si Kurang Ajar)”, pembaca diajak menjelajahi labirin karakter yang kompleks, dipenuhi dengan misteri yang tak terpecahkan. Kin, yang mula-mula muncul sebagai sosok kejam dan tidak terkendali, menyimpan rahasia di balik tirai karakternya. Melalui setiap peristiwa yang terjadi, Kin perlahan membuka tirai hatinya yang lembut, terutama terhadap Abi, sang ayah. Bahkan dalam tindakan-tindakan yang mungkin dianggap sebagai bentuk kurang ajar, Kin bertindak dengan tekad yang kokoh: melindungi Abi dari kebohongannya sendiri. Abi sering kali mengucapkan kata-kata yang menusuk hati, menyebut Kin dengan gelar ‘kurang ajar’. Dampak kata-kata tersebut terhadap Kin tak dapat dianggap remeh. Kin membawa hal itu dalam ingatannya, membentuk dirinya sesuai dengan penilaian Abi. 
 
Dalam perkembangannya, gambaran tentang Abi muncul dengan lebih tajam, membawa kita pada refleksi tentang mungkin ada kelemahan dalam cara dia mendekati hubungannya dengan Kin. Terutama dalam hal membatasi pilihan hidupnya, terkadang terikat oleh norma-norma keagamaan. Juga terlihat bahwa ada kecenderungan Abi untuk lebih menyayangi anak lelakinya dibandingkan dengan Kin, yang merupakan seorang perempuan. Cerita ini menjadi pengingat penting akan perlunya memberikan pemahaman dan penjelasan yang bijak kepada anak-anak kita, daripada hanya memberlakukan larangan dengan keras. Memungkinkan mereka memahami mengapa suatu hal mungkin tidak diperbolehkan, adalah cara untuk memberdayakan mereka dan membantu mereka membuat keputusan yang lebih bijak sejak dini. Hal ini juga mengajarkan kita tentang pentingnya kesetaraan dalam memperlakukan semua anak dengan adil, tanpa membedakan gender. 
 
Walaupun tindakan Kin tidak dapat dibenarkan, karena itu tetap merupakan kesalahan besar bahkan hingga membawa keluarganya pada kehancuran, cerita “Kin (Si Kurang Ajar)” mengungkapkan kekompleksan dan kedalaman di balik seorang anak perempuan yang dicap sebagai kurang ajar. Ini adalah kisah yang sangat mendalam, menggugah pemikiran tentang kompleksitas dalam hubungan antara seorang anak dan orang tuanya. 
 

3. Kering

Cerita “Kering” membawa kita ke dalam dunia yang gelap namun penuh makna di dalam ruang cuci. Di sinilah benang-benang kehidupan yang rumit saling terjalin, bukan sekadar tempat untuk mencuci pakaian, melainkan saksi yang mendengarkan berbagai kisah tragis para penghuni ruang tersebut. Di tengah para penghuni yang terperangkap dalam sudut gelapnya kehidupan, terungkap narasi pedih tentang kekerasan seksual, penindasan patriarki, dan perjuangan tiada henti perempuan dan anak-anak untuk tetap berdiri. 
 
Dalam penggambaran yang gelap dan mendalam ini, penulis dengan keberanian menyentuh isu-isu yang seharusnya tidak luput dari perhatian kita. Kisah-kisah para korban pemerkosaan dan kekerasan seksual menghadapkan kita pada realitas traumatis yang mereka alami. Beberapa di antara mereka terperangkap dalam belitan ketakutan dan putus asa, sehingga ada yang memutuskan mengakhiri hidup mereka. Namun, ada juga cerita keberanian yang mempesona, di mana korban memutuskan untuk berjuang melawan trauma mereka dan mencari penyembuhan. 
 
Ruang cuci dalam cerita ini menjadi simbol kuat dari tempat penyucian dan tempat orang-orang ini mencari perlindungan dari kekejaman dunia luar. Kata-kata yang menggugah dalam cerita, “Di dalam ruang cuci, kami ditelan dan ditenggelamkan dan dimuntahkan kembali dengan kotoran badan kami terkubur di dalam wadah penyucian. Kami keluar dari sini, kami putih. Di ruang cuci, kami sunyi,” membuat kita merasakan betapa pentingnya memberikan dukungan kepada para korban yang sedang mencari jalan keluar dari ketidakadilan yang mereka alami. 
 
“Kering” adalah sebuah cerita yang merentangkan hati kita dan membuat kita merasa terhubung dengan para tokoh dalam kisah ini. Ini adalah pengingat bahwa kita sebagai masyarakat harus bersatu untuk mendengarkan, mendukung, dan membantu para korban melepaskan diri dari trauma yang membelenggu mereka. Cerita ini adalah penghormatan kepada mereka, terutama menghidupkan suara-suara jeritan mereka yang masih tak terdengar, dan sebuah seruan untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap isu-isu yang seringkali terlupakan ini. 
 

4. Kuping

Cerita “Kuping” membawa kita ke dalam realitas yang penuh dengan lapisan emosional dan tragis. Terinspirasi dari karya seni Agus Suwage di Museum MACAN, kisah ini memperoleh dimensi tambahan yang mendalam dan memikat. 
 
Kita dihadapkan pada kehidupan seorang ibu yang terjerat dalam lingkaran kehidupan yang keras. Menghadirkan diri sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah satu-satunya jalan yang ia lihat untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan anak arang, putranya yang lahir dari bayangan pekerjaannya. Dalam kompleksitas hubungan ibu dan anak, tergambar sebuah kekuatan tak terukur untuk bertahan di tengah terpaan badai hidup. 
 
Namun, cerita ini tidak hanya tentang sang ibu, melainkan juga tentang penderitaan yang dialami anak arang. Dianggap sebagai beban dan sampah oleh masyarakat, anak ini dihadapkan pada dunia yang keras dan penuh dengan kekerasan. Namun, di balik segala kesulitan, anak arang memelihara belas kasihan dan pengertian terhadap ibunya. Ia tak pernah membenci, malah memaafkan segala hal yang dilakukan ibunya, bahkan perlakuan kasar yang terus ia terima setiap kali ibunya melihatnya. 
 
Kisah ini tak berhenti di situ. Saat sang ibu memutuskan untuk mengakhiri perjuangan melalui pekerjaannya dan meminta bantuan dari orang-orang terdekatnya, ia malah dihadapkan pada penghakiman dan penolakan. Kita melihat bagaimana masyarakat menilai mereka dengan tajam, seolah-olah mereka adalah satu-satunya yang bertanggung jawab atas nasib mereka sendiri. Kata-kata tajam mereka, “Kau sendiri yang melilit dirimu dalam balutan api itu. Kau sendiri yang memanggang kuburmu. Kau yang mengutuk dirimu, saat kau tanggalkan baju itu,” membuka mata kita akan kekejaman yang dialami oleh mereka. 
 
Melalui karya seni Agus Suwage di Museum MACAN, kita merasakan kedekatan dan keterkaitan yang mendalam dengan kisah ini. “Kuping” bukan sekadar sebuah cerita, melainkan juga cerminan kehidupan yang memilukan namun memanggil kita untuk berubah. Ia meneguhkan bahwa di balik setiap lapisan penderitaan, terdapat kekuatan untuk bertahan dan potensi untuk menemukan jalan keluar dari kegelapan. 
 

5. Kubur 

Cerita “Kubur” membawa kita ke dalam alam misteri dan tragedi yang penuh dengan nuansa gelap. Ia menceritakan tentang dua janin kembar, ‘Dia’ dan ‘Kamu’, yang takdirnya terjalin dengan sehelai benang takdir yang tragis. Mereka dipaksa masuk ke dalam kotak sepatu dan dikubur di bawah pohon markisa, suatu tempat di sekitar rumah ibu mereka—tanpa sepengetahuan bapak dan ibunya. 
 
Pohon markisa, yang berbuah lebat di atas kuburan mereka, menyimpan rahasia gelap dari kejadian ini. Seperti yang diungkapkan di dalam cerita, “Bapak dan ibunya  tidak tahu. Mereka makan markisa yang mengandung cucu mereka.” 
 
Meskipun berbagi rahim yang sama, Dia dan Kamu memiliki pandangan hidup yang sangat berbeda. Dia optimis bahwa dengan tekad dan ketekunan, mereka dapat keluar dari kubur ini dan diterima dengan kasih sayang oleh orang tua mereka. Sementara itu, Kamu penuh dengan rasa sakit dan kemarahan, dan lebih condong pada keinginan untuk membalas dendam pada ibu mereka yang telah melakukan kekejaman ini terhadap mereka. Dalam hati Kamu, membayangkan balasannya terasa sebagai keadilan atas kekejaman yang telah mereka alami. 
 
Namun, realitasnya jauh dari harapan. Saat mereka akhirnya berhasil membebaskan diri dari kubur, mereka menemukan bahwa ibu mereka telah tiada. Keputusan yang menggetarkan menghadapkan mereka pada kesimpulan yang memilukan: mereka kembali memilih untuk bersama-sama dengan tanah, tempat mereka pertama kali bersemayam dan menjadi saksi bisu dari penderitaan mereka. 
 
Dalam intisari kelam cerita ini, tergambar gambaran pahit akan keinginan hidup yang dipotong begitu saja. Dua janin yang tak berdaya, yang ingin menghirup udara pertama mereka, terpaksa berpisah dari harapan kehidupan. “Kubur” adalah simbol dari harapan yang dipadamkan, namun juga dari kekuatan yang terpendam. Kisah ini adalah pengingat akan keadilan yang terkadang terabaikan, dan betapa berharga setiap kehidupan yang diciptakan. 
 

6. Krematorium

Cerita “Krematorium” membawa kita ke dalam alur yang gelap, namun penuh dengan makna yang mendalam. Kisah Moshka Vatra, seorang gadis yang menghilang pada suatu Jumat di bulan Oktober dari kamar kecilnya, membawa kita ke dalam realitas yang penuh dengan penderitaan dan keputusasaan. 
 
Saat Moshka memutuskan untuk kabur dari rumah, ia membawa satu orang anak perempuan (tidak bermerek), yang sebenarnya adalah anaknya sendiri. Dalam perjuangannya, Moshka ingin membuktikan bahwa ada harapan bagi seorang anak laki-laki untuk memikul tanggung jawabnya. Namun, dunia tak melunak, tak peduli seberapa besar usaha Moshka. Akhirnya, di dalam keputusasaan yang melanda, Moshka memutuskan untuk mengakhiri penderitaannya bersama sang anak, mencari kedamaian di tempat yang lebih baik. 
 
Moshka Vatra, namanya tak seperti nama biasa. Moshka, yang merujuk pada lalat, mungkin terdengar tak lazim, namun memberi isyarat pada keinginan Moshka untuk terbang bebas, bebas dari belenggu hasrat yang membara. Vatra, yang berarti api, mencitrakan keteguhan dan kegigihan yang menyala-nyala dalam dirinya. Nama lengkapnya, ‘Moshka Vatra’, dengan arti harfiah ‘Lalat Api’, seolah memanggil untuk membebaskan diri dari hasrat yang terus membakar, menuju puncak kebebasan sejati. 
 
Setelah membaca ulasan lain, seperti milik Jess (@bookwormdaily) di media sosial X, ternyata nama Moshka Vatra mengingatkan pada karya seni monumental Abhishek Chamaria yang berjudul Moksha Fly Free From Your Burning Desires. Dalam kisah Moshka, kita melihat usahanya yang gagah berani untuk membebaskan diri dari bara yang menghanguskan hidupnya, dan mencapai kebebasan yang tak terhingga. Dengan begitu, nama Moshka Vatra bukan sekadar identitas, melainkan juga sumpah seorang pejuang untuk memperoleh kebebasan sejati. 
 
Pemilihan krematorium sebagai judul memuat makna yang sangat dalam. Istilah ini biasanya merujuk pada tempat di mana jenazah manusia diubah menjadi abu, simbol transmutasi dan kehancuran: dari kehidupan ke kematian. Namun, dalam konteks cerita ini, terdapat kemungkinan bahwa orang tua Moshka menggunakan ‘krematorium’ mereka untuk tujuan yang lebih personal dan tak terduga. 
 
Dengan simbolisme mendalam dan lapisan emosional yang kompleks, “Krematorium” mendorong kita untuk mempertimbangkan makna kebebasan, pengorbanan, dan harapan dalam menghadapi kegelapan kehidupan. Kita dihadapkan pada pertanyaan tentang bagaimana kita mengatasi keinginan dalam diri, bagaimana cara kita membebaskan diri dari belenggu hasrat membara, dan apa arti sebenarnya dari kebebasan sejati. 
 

7. Kelana

Cerita “Kelana” membawa kita ke dalam perjalanan emosional Sasha, seorang gadis yang telah terjerat dalam lingkaran keluarganya. Ada nuansa tragis yang melingkupi kehidupannya, dari ‘penjualan’ hingga ‘manipulasi’ pikirannya. Sasha perlahan menyadari ketidakadilan hidupnya ketika ia melihat kehidupan anak-anak di seberang rel kereta yang begitu berbeda dengan dirinya. 
 
Di sekolah, setiap murid diberi solder, simbolisasi yang kuat untuk menggambarkan luka dan perjuangan yang harus mereka hadapi. Bagi Sasha, solder ini tidak hanya menyatukan logam, tetapi juga melambangkan usahanya untuk menyembunyikan luka-luka dan kehancuran yang ia rasakan di dalamnya. 
 
Sasha bukanlah gadis yang menyerah begitu saja. Meskipun terluka kembali dalam perjalanannya mencari tempat aman, ia terus bertahan. Setiap luka yang dijahit dan setiap robekan yang disolder di kulitnya menjadi petunjuk arah, mengisyaratkan keteguhan dan tekadnya. 
 
Dalam ruang cuci, Sasha menemukan tempat di mana ia dapat berhenti sejenak, merenungkan arah hidupnya, dan menunggu petunjuk berikutnya. Di sinilah ia menyadari keberhargaannya yang tak ternilai. Sasha memahami bahwa dia berhak merasakan keindahan dunia tanpa harus membawa beban berat masa lalunya. 
 
Kesimpulannya, “Kelana” mengajarkan kita tentang kekuatan bertahan dan keinginan untuk menemukan tempat di dunia ini, bahkan setelah mengalami penderitaan. Ruang cuci, sebagai metafora untuk refleksi dan keselamatan, menunjukkan kepada kita bahwa kita semua berhak merasakan keindahan hidup tanpa terpengaruh oleh masa lalu yang gelap. 

 
8. Kambing

Cerita pendek terakhir dalam buku ini, berjudul “Kambing”, membawa kita ke dalam gambaran yang gamblang dan tajam terkait kondisi masyarakat dan budaya patriarki yang masih kuat. Dengan setiap kata dan deskripsi yang digambarkan, kita dihadapkan pada realitas yang terkadang sulit dipahami dalam masyarakat kita saat ini. 
 
Kisah ini menggambarkan realitas yang terkadang sulit dipahami dalam masyarakat kita saat ini. Sebuah realitas di mana laki-laki sering kali mendapat perlakuan istimewa, diangkat, dan dijauhkan dari kejahatan yang mereka lakukan. Mereka bisa saja menjadi pahlawan tanpa perlu membuka seluruh kisah atau rahasia yang mereka simpan. Sebaliknya, bagi perempuan, terutama dalam situasi sulit, sering kali terjadi perlakuan sebaliknya. Mereka menjadi subjek dari pertanyaan dan keraguan, bahkan jika mereka tidak melakukan kesalahan apa pun. 
 
Cerita ini adalah cerminan yang kuat dari realitas yang mungkin sering terjadi di sekitar kita. Hal ini mengajak kita untuk berpikir lebih dalam tentang struktur masyarakat dan norma-norma yang masih berlaku. Apakah benar-benar adil? Ataukah ada perubahan yang perlu terjadi? Dengan menghadirkan narasi yang kuat dan tajam, “Kambing” adalah cerita yang memaksa kita untuk berintrospeksi dan mempertanyakan norma-norma yang mungkin telah mengakar dalam kehidupan sehari-hari.
 

Dalam kesimpulan, Kapan Nanti ini adalah sebuah perjalanan mendalam ke dalam sudut-sudut gelap kehidupan manusia, membuka jendela pada realitas yang terkadang sulit diakui. Dengan gaya penceritaan yang kuat dan karakter-karakter yang kompleks, setiap cerita memberikan lapisan baru untuk memahami tantangan-tantangan kompleks yang dihadapi oleh individu dalam masyarakat kita. 
 
Saya juga ingin memberikan sedikit catatan bahwa, setelah memeriksa daftar isi, terdapat kekeliruan kecil pada penulisan judul “Kabaret”, di mana tanda ‘)’ muncul tiba-tiba di bagian akhir. Saya berharap bahwa pada cetakan selanjutnya, hal ini dapat diperbaiki untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik bagi pembaca. Secara keseluruhan, buku ini adalah sebuah karya yang menggugah pikiran, menantang norma-norma yang ada, dan menyuguhkan refleksi mendalam tentang berbagai aspek kehidupan manusia.

Expand filter menu Content Warnings