Reviews

A untuk Amanda, by Annisa Ihsani

hmonstar's review

Go to review page

4.0

rate 4.8

Depresi bisa datang kepada siapa saja. Meskipun dia hidup di dunia yang tidak pernah ada kekerasan ataupun trauma masa kecil.

Amanda merasa hidupnya seperti penipu. Semua nilai bagus yang dia dapat, dia merasa tidak pantas mendapatkannya. Dia merasa nilai bagus yang dia dapat alih-alih hanyalah sebuah keberuntungan.

Tbh, dulu sempet banget aku berfikiran seperti Amanda dan itu beneran exhauted banget. Btw aku gak se jenius Amanda. Aku cuman orang yang nilainya diatas rata-rata terus entah kenapa. Untung Amanda berani speak up dengan apa yang dia alami.

Yang paling sedih disini, stigma orang yang dengan 'gangguan mental' dicap jadi orang gila terus dianggap bahwa dia kurang mendekatkan diri dengan tuhan, diledekin, dibisik-bisikin pas dia lewat itu sesuai banget sama dunia nyata. Terus pergi ke dokter, psikolog atau psikiater itu cuman permainan orang-orang terkait untuk mendapatkan sebuah keuntungan.

Padahal mereka gaktau karena gangguan itu, kita sampai susah mengambil keputusan, merasa menyia-nyiakan sebuah kesempatan.

Hubungan antara Amanda dan Tommy (teman kecil yang menjadi pacar), Amanda dan Helena patut diikut juga. Disini kayak dikasih tau 'don't judge the book by it's cover' deh. Pengetahuan penulis tentang sains juga keliatan banget di buku ini. Suka banget sama cara penulisannya.

ossyfirstan's review

Go to review page

4.0

Saya jadi ingin membaca A untuk Amanda beberapa tahun silam ketika saya SMA dan sempat mengalami perasaan otakku-sepertinya-rusak-dan-menjadi-bodoh yang juga berimbas ke nilai-nilai di raport tentu saja. Sayangnya, saat saya SMA buku ini belum ada dan untungnya sekarang saya sudah menjadi penganut bedebah-dengan-nilai-proses-lebih-penting.
A untuk Amanda menjadi novel YA Indonesia kedua yang saya baca dan saya suka setelah Sylvia’s Letters. Seakan membawa angin segar di tengah-tengah bosannya saya melihat teenlit Indonesia yang dipenuhi cerita anak SMA bermerah muda. Membawa isu depresi, stigma, feminisme, kepercayaan dan kawan-kawan ,novel ini menunjukkan kalau dunia anak SMA tidak cuma bermerah muda (meski ada cerita tentang itu sedikit di sini). Satu yang membuat saya agak bingung adalah di mana cerita ini berlangsung, saya hanya menangkap cerita ini di Indonesia, di sebuah sekolah swasta yang mungkin memakai kurikulum luar bukan kurikulum Indonesia.

marinazala's review

Go to review page

4.0

** Books 281 - 2016 **

3,6 dari 5 bintang!

Saya tidak menyangka setelah membaca buku Annisa Ihsani yang berjudul [b:Teka-Teki Terakhir|21487836|Teka-Teki Terakhir|Annisa Ihsani|https://images.gr-assets.com/books/1395122602s/21487836.jpg|40814294] berhasil disuguhkan novel young adult berbobot yang saya temukan di buku A untuk Amanda. Tema ceritanya sebenarnya sederhana dimana Amanda ini termasuk siswi yang pintar di sekolahnya tetapi ia memiliki kecemasan berlebihan akan apabila ia tidak mendapatkan nilai A untuk seluruh mata pelajaran. Ia juga merasa dirinya menipu semua orang akan nilai yang ia dapat karena sebenarnya ia merasa dirinya tidak pintar-pintar amat. Saya sukanya novel ini dikemas dengan cara menarik. Jika Teka Teki Terakhir memberikan informasi akan matematika kalau dibuku ini memaparkan informasi-informasi yang menarik mengenai sains (tentang pelangi, bigbang, chicken nugget, dsbnya).

Saya suka dengan kemasan novel ini. Cantik. padat dan berisi. Jarang sekali saya menemukan buku Young Adult di Indonesia yang bisa memiliki bobot cerita seperti ini. Namun entah kenapa saya kurang begitu klik dengan pembahasan mengenai spiritual yang menurut saya buku ini terlalu riskan jika dibaca dengan remaja yang belum memiliki pemahaman akan keyakinan/agama yang cukup :)

readbyal's review

Go to review page

dark emotional hopeful inspiring lighthearted reflective sad fast-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? Yes

5.0

 A book that will make u feel something! Senyum2, kesel, baru tau, sedih, relate.

W suka tokoh2 yg dihadirkan tuh kebanyakan punya karakter sendiri. Suka juga cara penulis menyampaikan tanda2 depresi tsb melalui kejadian2 sehari-hari yg dialami Amanda. Sedihnya berasa, senyum2nya berasa, struggle nya berasa, suka juga self dialogue Amanda yg keliatannya gada abis2nya, terus, suka jg sama dokter eli yg vibesnya kalem tpi bisa bikin Amanda bingung mau bales apa, suka jg momen2 wholesome ketika Amanda sadar that she's more than her negative thoughts, dan berbagai suka yg lainnya. 

nouvellevauge's review

Go to review page

3.0

Akhirnya selesai setelah mencoba tidur, tapi gagal, kemudian setelah hampir 1 jam kembali melanjutkan buku (kisah si Amanda) yang sebelumnya tergeletak di halaman-entahlah-mungkin-240an. Cerita ini cukup ringan untuk ditelan, karakternya ramah untuk dikenali, bahasanya nyaman untuk dihabiskan dalam waktu yang tidak lama (saya menghabiskan buku ini tidak sampai 24jam, yeah, kalau katanya si Amanda)

Terlepas dari itu semua, saya merasa kepingan-kepingan dari Amanda ini setidaknya pasti merepresentasikan hidup kita semua. Pengalaman kita semua. Saya yakin akan itu. Apa yang dipikirkan Amanda dan apa yang dikatakan Dokter Eli, pasti akan melempar kita semua ke dalam satu wadah. Yap, "relatable." Dan akhirnya melempar saya sendiri ke dalam wadah berupa gagasan bahwa Amanda adalah kita semua. A untuk Amanda, A untuk kitA.

Kisah Amanda cocok dibaca untuk orang-orang di luar sana yang sedang berjuang, mencari harapan, menerima perubahan, dan menerima perbedaan. Hal terbesar yang saya dapat dari kisah Amanda ialah nilai A itu subjektif. A bisa saja untuk dia yang bertahan hidup hari demi hari, A bisa saja untuk dia yang belajar mati-matian, dan A bisa saja diperuntukkan untuk mereka-mereka yang tidak bisa bangun dari tempat tidur hanya untuk memandangi pelafon rumah sambil diteriaki oleh segala macam kemungkinan dan ketakutan di dalam otak akibat dari ketimpangan zat kimia, pengaruh gen, atau kondisi moodswing.

Saya mungkin bisa berbicara banyak mengenai sudut pandang baru yang didapat setelah menyelesaikan novel ini. Sebenarnya, saya akan memberikan 3,5/5 bintang. Tapi sayangnya Goodreads tidak menyediakan aksebilitas untuk itu.

Awal-awal pembawaan kisah ini sedikit mengingatkan saya akan The Bell Jar by Sylvia Plath. Entah karena apa, tapi saya kira itu karena garis hubungnya mirip antara Esther dan si Amanda ini. Tapi, setelah semakin jauh, ternyata ini beda. Amanda menggambarkan kehidupan remaja, sementara Esther tidak. Lebih jauh, saya mungkin lebih dapat relate dengan karakter Esther, tapi saya mampu menangkap lebih jelas karakter Amanda.

Dengan segala pertimbangan tersebut, saya berterima kasih-kepada-siapapun-dan-apapun karena berkesempatan untuk menyelesaikan kisah Amanda.

nadaisreading's review

Go to review page

3.0

Alurnya sedikit bikin bingung ditambah terlalu banyak istilah-istilah sains & psikologi. Tapi secara keseluruhan plotnya menarik! Secara gak sadar beberapa bagian diriku pernah ngerasain apa yang dirasain sama Amanda.

Banyak bagian ceritanya yang relatable sama kehidupan sekarang, kayak misal respon orang-orang terdekat Amanda waktu tau Amanda depresi.

merreadgold's review

Go to review page

5.0

GILA.

Buku ini gila.

Entah berapa kali Saya membaca lalu menutup lagi halaman buku ini, rasanya tiap apa yang dirasakan Amanda adalah apa yang selama ini saya pertanyakan dalam hidup saya.

ann097's review

Go to review page

4.0

Woww what a book!
Buku ini keren menurut saya bisa mengangkat isu kesehatan mental dan ada juga sedikit diramu dengan bumbu feminisme. Tentu saya jarang membaca buku terutama pada "Young Adult" yang ada unsur tersebut. Ternyata sangat worth it.

even this book made me go to a psychologist:") yeah finally, we're same Amanda. I have Imposter Syndrome tooo

But, there's something.. untuk latar nya atau alur nya sebetulnya sudah bagus, cuman agak bisa di katakan a lil mess(?) sedikit berantakan. Buku ini menurut saya kurang "ngena". But of course the message very good delivered to readers.

antariksach's review

Go to review page

5.0

percaya atau tidak, walau tidak genius dan tidak mengidap impostor syndrome seperti Amanda, saya tahu benar rasanya dipandang terlalu tinggi oleh orang lain sampai ekspetasi mereka menjadi beban dan bikin saya depresi. i've been there before dan rasanya sangat tidak menyenangkan, setiap hari hanya bisa tiduran memikirkan segala hal yang seharusnya dilakukan tapi tak kunjung dilakukan karena pada saat yang sama saya juga tidak mau berpikir, ingin berhenti berpikir, dan kalau bisa tidak usah berpikir lagi selamanya. A Untuk Amanda kalau dikurangi dramatisasinya (termasuk keberadaan Tommy yang lucu tapi menyebalkan) bisa menggambarkan sekeping kecil kehidupan saya semasa SMA. sampai sekarang pun saya masih menjadi orang yang tanpa alasan yang jelas selalu kepengin mengejar nilai A (benar-benar bukan karena menarget nilai tertentu, tapi murni hanya keinginan iseng macam "kayaknya seru kalau nilaiku A semua"--apa ini adalah sindrom tersendiri?) dan merasa sangat terganggu kalau melihat daftar hasil studi dinodai beberapa nilai B, dan menganggap IP 3,5 itu biasa saja cenderung rendah padahal di luar sana jutaan mahasiswa harus berjuang keras untuk mendapatkannya. saya tidak tahu diri, seperti Amanda. tidak mengerti dan tidak menyadari perjuangan saya sendiri, dan hanya bisa mengeluh kalau orang lain mengharapkan sesuatu yang bagi saya terlalu tinggi tapi sebenarnya setara dengan kemampuan yang saya miliki. inti dari curhatan ini adalah bahwa lepas dari dramatisasi percintaan dan lingkungan hidupnya, A Untuk Amanda adalah novel paling relatable dengan diri saya yang pernah saya baca. selain itu, saya juga pencinta sains. astronomi, fisika, matematika, dan biologi adalah bidang-bidang yang saya harap bisa saya dalami namun tidak bisa karena otak saya tidak diciptakan untuk pandai ilmu alam. tapi saya selalu menikmati bacaan-bacaan yang berhubungan dengan bidang-bidang itu, maka tak heran kalau saya semakin mencintai novel ini.

Amanda genius, kocak, tapi kadang bego ketika menghadapi persoalan hidup seperti remaja kebanyakan. cerita disampaikan dengan gaya bahasa terjemahan yang sangat rapi (walau yah kadang terasa terlalu kaku). kemasan alur dan konflik mengingatkan saya pada novel-novel kontemporer remaja Amerika (sangat cocok untuk pembaca yang jenuh dengan novel lokal yang ceritanya itu-itu saja). banyaknya istilah sains dan nama tokoh asing tidak diberi penjelasan seperti footnote tapi malah secara tidak langsung mengarahkan pembaca untuk gooling dan baca-baca sendiri (menambah ilmu pengetahuan!). karakter-karakter yang muncul hampir selalu memiliki ciri khas, saya bahkan masih mengingat Sara-Tanpa-H padahal dia hanya muncul satu kali. bagian akhir cerita agak kurang nendang tapi apa lagi yang harus dibahas saat semua persoalan sudah menemukan titik terang? (nggak sih saya merasa ada sesuatu yang terlewat tapi entah apa itu) latar tempatnya memang aneh karena rasanya Indonesia tapi juga nggak Indonesia(?), tapi yasudahlah namanya juga kota fiksi. saya sering merasa pengin menulis cerita dengan kota fiksi seperti ini karena kalau pakai kota asli yang punya bahasa daerah maka saya harus memasukkan unsur-unsur bahasa daerah ke dalam cerita padahal saya tidak mau tapi kalau tidak memasukkan unsur-unsur bahasa daerah ke dalam cerita maka cerita saya akan terkesan tidak masuk akal dan kurang natural. jadi ya sedikit banyak saya bisa memahami pertimbangan penggunaan kota fiksi dalam novel-novel berlatar Indonesia-tapi-juga-nggak-Indonesia. mungkin salah satu alasannya adalah menghindari unsur-unsur bahasa atau budaya daerah yang tidak diinginkan.

bintang lima untuk novel cerdas ini. pengin baca lebih banyak karya Annisa Ihsani untuk meyakinkan diri kalau dia pantas saya jadikan idola baru.

dreeva's review

Go to review page

4.0

86 - 2020

Ini buku ketiga dari Annisa Ihsani yang saya baca, kali ini genrenya YA.
Dari awal saya sudah melihat review teman-teman yang bilang buku ini bagus, ratingnya juga tinggi, akhirnya saya baca juga.

Amanda adalah anak perempuan yang cerdas, sangat pintar, tapi dia merasa sesuatu yang aneh pada dirinya. Jika dia mendapati nilai A dia merasa itu adalah sebuah keberuntungan, bukan karena kerja kerasnya, dan jika dia dapat nilai kecil, dia merasa dia gagal. Maunya apa coba?

Ya begitulah, ada sesuatu yang gak beres dengan perasaan dan pikiran Amanda. Padahal di mata orang lain, jelas lah dia anak perempuan yang bernilai A, cantik, pintar dan punya pacar keren, sempurna. Namun, ketika itulah ternyata pikiran Amanda aneh, dia selalu merasa apa saja yang dilakukannya menjadi sesuatu yang aneh, gak benar, merasa kurang. Karena Amanda anak pintar, dia sudah merasa dia depresi lalu mencari tahu ke psikiater dan menjalani terapi.

Tema kesehatan mental memang dua tahun terakhir banyak sekali ditulis. Banyak juga penulis yang punya backgroud psikolog juga menulis dengan tema ini. Kesehatan mental memang layak digali lebih dalam, karena banyak bener macem-macemnya, dan buat saya ini selalu menjadi tema yang menarik, baik fiksi maupun non-fiksi.

Cerita Amanda menyadarkan saya bahwa orang yang punya jiwa yang terluka bukan hanya karena luka masa lalu, masalah keluarga, tapi dari pikiran dan perasaan dari yang kita kira sempurna pun bisa.


"Alam semesta tidak punya kewajiban untuk membuatku merasa berharga; aku yang harus melakukannya untuk diriku sendiri."