Reviews

Polaroid by Mohd Azmen

imandanial's review

Go to review page

3.0

Membaca profil penulis di penghujung novela, aku membayangkan Mohd Azmen ialah Egus. Penulis baik yang tak huhahuha bersosial, togok arak, clubbing etsetra etsetra (Azmen kata dia stay-at-home-date yang menjaga anak perempuannya). Menulis hal-hal hedonisitik hanya kerana dia- nak menulis?

nura_aziz's review

Go to review page

3.0

Buku indie pertama yang saya baca yang menepati ciri-ciri yang saya gambarkan sebagai indie.

Quite okay, kata2 dan falsafahnya banyak yang menarik. Gaya penceritaannya unik dan tersendiri. Memang selalu la tergelak bila diri sendiri tertipu, atau lebih tepat, bila kebenarannya jauh lebih innocent dari gambarannya :-D

Cuma...perwatakan dan persekitarannya serta arah tujunya bukanlah apa yang saya cari dari sebuah buku.

izzatiidrus's review

Go to review page

1.0

This is a story about a meaningless life, or in a word, nothingness. With fake sprinkled all over it. And this description is me being generous, mind you.
I picked up this book as it was one of the recommended books in Malay writing and I wanted to be inspired by Malay writing because I haven't read any books written in Malay for over a decade now. Little did I know that I was bound to be greatly disappointed. The story revolves around an idiotic character whom the writer tried hard to make you believe that he was very accepting of the 'cool' and 'trendy' western lifestyle. The writer pushed this way too hard that it became more and more pathetic as the story progresses. I am hardly religious, but even books written in English by westerners do not need all or most of the 'ooooohhh-we-so-cool-we-be-playin-on-the-edge-of-the line bordering-into-the-things-frowned-upon-by-anal-Asians'. *insert eye rolls* Almost everything in the story is unnecessary. Instead of being inspired with a Malay writing,I became disgusted by it. Hence my writing this in another language. This for me is a perfect waste of time because I do not care to delve into the life of an imbecile who ironically thinks with his phallus despite lacking the balls on either side. But since I fucking spent RM20 for this book, I had to see it through. The only good side is that the book is short and it could help me progress in my reading challenge. I shall know by now, however, that I will never be reading any works from this author ever again. The unlikeable characters, in a story with no clever plot and topped with the lack of genuineness simply irate me. It simply isn't my cup of tea. I've never wanted to burn a book before but this book just managed to disappoint me like no books I've read before had done.

mobyskine's review

Go to review page

5.0

Ini antara naskhah lokal dalam wishlist paling nak baca walaupun buku ini dah lama terbit. Banyak baca ulasan bagus (dan tak bagus) pasal Polaroid, dan kebetulan terjumpa naskhah bertandatangan penulis di Kedai FIXI.

Polaroid dalam naskhah novela, tentang si lelaki dan seorang gadis bernama April dengan persahabatan yang lahir dari sebuah kamera polaroid. Kisah cinta yang dipendam senyap-senyap sehingga satu masa si gadis hilang tanpa khabar waktu sertai maraton di Boston.

Suka dengan narasi cerita penulis. Santai dan cermat gubahan plotnya. Tak ada yang gembira dalam Polaroid, sangat mellow tapi aku terhibur. Aku suka Egus, mungkin sebab dia gemar Bukowski(?). Insiden anggur peram kerana ritual dan cerita tentang orang kaya dan penyair antara babak aku suka. Adegan yang 'halus' dan sinikal. "Aku fikir mereka boleh jatuhkan kerajaan dengan wain dan prosa yang baik."

Si 'kembar tiga' Egus, Seth dan si gadis tatu Amber yang banyak bawa perkembangan kepada Polaroid, tukang alih perhatian dari rutin si lelaki yang tenggelam dalam bunyi statik televisyen dan rambang radio lepas April 'pergi'. Entah kenapa aku teringat perasaan baca Hear The Wind Sing karya Murakami yang bagi vibe sama bila baca Polaroid.

"Kau tahu tentang perpisahan? Ia perasaan tentang sesuatu yang berlegar-legar di sekeliling kau tapi kau tak tahu apa."

Suka gaya naratif yang hampir stagnant (atau mungkin antiklimaks?) penulis tapi masih berlegar antara memori dan pencarian makna hidup si watak utama. Fragmen dengan Juli macam dalam mimpi dan sehingga ke akhir Polaroid aku masih tertanya pasal playlist joging daripada April.

"Aku pun tak suka mengucapkan selamat tinggal. Aku fikir ia lebih teruk jika pergi tanpa kata apa-apa."

5 bintang untuk Polaroid (dan entah kenapa aku tak beli baca buku ini dari dulu, best kot).
More...