Reviews tagging 'Child abuse'

Lebih Senyap dari Bisikan by Andina Dwifatma

2 reviews

headliner's review against another edition

Go to review page

emotional sad fast-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

5.0

HADAAAAHHH aku gak tau berapa banyak aku narik dan hembusin napas berulang kali selama baca buku ini.  Menurutku Lebih Senyap dari Bisikan merepresentasikan apa yang kerap terjadi di kehidupan berumah tangga. Gak bisa dipungkiri juga kalau cerita yang ada di buku ini kadang kita temuin di sinetron-sinetron.

Rasanya dibuat emosi dan mual sama apa yang dialamin tokoh Amara - juga bagaimana lagi dan lagi perempuan yang harus mengalami semuanya. Aku juga dibikin heran dengan bagaimana Amara tetap lanjutin hubungannya sama Baron sewaktu pacaran dan memutuskan untuk menikah. However, love is blind. Isn't it?

Aku sendiri suka banget sama penulisan Kak Andina yang tertata rapi, jadi sewaktu baca ngerasa ngalir sampai akhir dan bisa nikmatin alurnya. Mulai dari bagaimana Amara dan Baron berjuang untuk punya momongan, saat hamil dan proses melahirkan, diceritain juga sewaktu mereka awal kenal sampai pacaran, dan all the ups and downs they had life in their marriage life. Yah... kehidupan berumah tangga jelas gak mudah dan punya anak pun bukan hal yang bisa dianggap enteng diserahkan ke satu pihak aja.

Menurutku, orang-orang perlu baca ini untuk dapatin insight dan pelajaran yang bisa dipetik. Khususnya saat mempersiapkan diri dengan pasangan ke jenjang yang lebih matang supaya (aku berharap) gak mengalami hal yang serupa. But, be aware sebab ada bagian-bagian yang cukup triggering. 

Expand filter menu Content Warnings

novi's review

Go to review page

challenging dark emotional funny reflective sad medium-paced

4.0

Tulisannya bagus banget, enak dibaca, dari halaman pertama udah menarik. Bukunya juga tipis, jadi cepat selesainya. 

Dari sisi cerita, jujur aku bingung apa perasaanku terhadap buku ini. Aku merasa buku ini terbagi jadi 2. Setengah bagian di awal, sesuai blurb, kita baca soal seorang wanita yang mengalami tekanan sosial untuk punya anak. Lalu soal perjuangannya yang jatuh bangun untuk memiliki anak dan setelah akhirnya berhasil, perjuangan adaptasinya dalam menjadi ibu baru, didampingi sang suami. Bagian itu sangat terasa autobiographical, seolah penulis sedang membicarakan soal pengalamannya sendiri. Gaya ceritanya nyablak, detail, dan lucu. Pembaca dikasih tahu bahwa ini perjuangan berat, tapi nyeritainnya sambil senyum. Ringan. Sampai kemudian negara api menyerang. Tone buku langsung berubah, tidak seringan dan selucu bagian awal karena yang terjadi memang bukan sesuatu yg bisa ditertawakan. Aku agak berharap di bagian ini masih ada ketawa2 mirisnya sih. Tapi kalo soal tulisan, masih tetap bagus, stabil.

Bagian kedua buku ini yang membuat aku bingung apakah buku ini punya pesan yang mau disampaikan, dan kalau iya, apakah iya pesannya "itu"?? Kok aku kurang yakin. Atau mungkin penulis hanya ingin menyampaikan salah satu pengalaman wanita. And it's totally fine. It's still a good book. Gak harus ada "pesan" yang mau disampaikan, walaupun aku rasa di buku ini ada, tapi aku gak yakin. *muter lagi*

Gini deh, setelah baca, kesannya pesan buku ini adalah "ibu selalu benar dan weton juga selalu benar". Tapi rasanya ini bukan buku tentang ibu? Atau mungkin ini buku tentang bahwa jadi ibu ga perlu sempurna, tapi yang jelas ibu akan selalu benar? I don't know why I feel like O have to categorize what this book is about.

Mari bicara sedikit soal Baron, tokoh suami di buku ini. Mungkin penulis ingin kita menyalahkan Baron. But we didn't get his point of view though? Jadi aku pribadi gak melihat Baron sebagai 100% salah, kita udah lihat dia dari masa ke masa and he's not perfect but he's decent. Pretty huge red flag before the wedding tapi yaudahlah. Dia jelas2 depresi dan butuh pertolongan. Kita ga dapet closure dan kejelasan yang memuaskan tentang apa yang sebetulnya Baron lakukan dalam depresinya itu, dan itu bagian yang sangat realistis sih, karena di dunia nyata, kita memang gak selalu dapat itu. Hal-hal yang ingin kita tahu, gak selalu bisa kita ketahui, bisa jadi karena orangnya gak mau ngasih tahu atau bisa jadi kita terlalu takut untuk tahu? (ini berlaku juga untuk Maminya Amara). I mean they're both hurting. They needed a psychiatrist but money was tight. Oya, agak bingung juga sih aku kenapa pasangan suami istri ini gak punya teman. Sekalinya punya kok ya jadi plot device untuk tone-shifting the whole book? 😭


[Edited on August 14th 2021]
Astagaaa aku baru ikutan diskusi bukunya bersama penulisnya yg diadain sama sastra gpu. Aku yg tadinya sama sekali nggak ngeh apa inti atau point dari setengah bagian akhir buku ini akhirnya dapat pencerahan. Ternyata aku melihat permasalahan itu "biasa". Saat membaca, aku pikir baik laki-laki atau perempuan bisa saja mengalami dan melakukan apa yg Baron lakukan. Tapi aksi Baron ternyata diakari dari pengkondisian bahwa laki-laki lah yg harus menolong keluarganya. Dia pikir dia yang harus (saya mengutip dari ulasan mba Kalis), "memanggul sendirian beban menjadi laki-laki dalam budaya patriarkal". Lalu tokoh Mami di sini memang dimaksudkan sebagai penyejuk bagi anaknya oleh penulis, jadi dugaanku soal "pesan" di buku ini sebetulnya gak terlalu meleset, walaupun aku sebagai anak yang cukup rebel masih merasa agak hmm gimana gitu ya dengan pesan itu wkwk

Expand filter menu Content Warnings
More...