Reviews

Burung-Burung Manyar by Y.B. Mangunwijaya

flamecaster's review against another edition

Go to review page

5.0

no books have inspired me this much. talk about character development

misspalah's review against another edition

Go to review page

3.0

“Dan semakin bencilah seluruh jiwaku kepada segala yang berbau Jepang. Termasuk pengkhianat - pengkhianat: Soekarno-Hatta. Dan seluruh bangsa yang disebut Indonesia, yang membongkok-bongkok kepada Jepang dan berteriak-teriak di alun-alun oleh hasutan Soekarno: "Inggris kita linggis! Amerika kita seterika! Dai Nippon, banzai!" sejak itu, aku bersumpah untuk mengikuti jejak Papi: menjadi KNIL, membebaskan negeri yang indah ini dengan rakyatnya yang bodoh, pengecut tetapi baik hati itu, segala orang di kolong jembatan dan mental-mental serba kampungan dari hasutan dan pengaruh jahat yang menyebut diri nasionalis, tetapi mendukung bandit- bandit yang membuat Mamiku menjadi gundik”.
- Buah Gugur : Burung-Burung Manyar by YB Mangunwijaya
.
.
Knowing that the book was published in 1981 and the author basically lived through 3 different period of Indonesian History : The Late Occupation (1934-1944), The National Revolution (1945-1950), and The Early New Order (1968-1978) - it actually reflect how well the book was written. The major theme of this book is the struggle against colonialism. In the mentioned period, we can see that Japan And Dutch were competing to hold Indonesia. Just like most post-colonial literature, Nationalism discourse took place along the story whereby we were introduced to Teto and Atik, the Main Characters, for the novel. They have known each other since they were kids as they are part of Javanese Royalty. We already saw Teto’s stance on Dutch Colonizer. He has no problem with their way as his father enjoyed the privileges and in a way that he was not being oppressed in any way compared to the common folks during that time. Atik, on the other hands, grew to be a bright young lady that abhor the system. Hence, fate decided to separate them to the opposing sides during the Japanese Occupation Time. Teto went to join KNIL (the Dutch colonial army). The choice made by Teto was chided by Atik as she is all in supporting the Indonesian forces fighting for independence. They are friends but their contrasting ideology made the friendship is such an unlikely pair - just like a fire and water. They both fought for what they stand for with zeal. Teto being an Anti Republic is an example that not all citizens were keen to gain an independence. But i wonder will he still be an anti republic and support dutch to take back Indonesia if he was not born of Royalty? If he was just a son of farmer, will he hold the same sentiment? I dont think so. As for Atik, She knew both Japan and Dutch are Bad but she decided to choose who can give them a self governing country and independence. At the end of the day, This book brought us an intense journey of these 2 characters, before and shortly after Indonesia's proclaimed independence day. We have seen their character’s growth through separation, loss, death and ultimately reconciliation at the end of the story. I would want to give this 4 stars but i felt its too long winded for my liking but it did not discredit that Yb Mangunwijaya (or known as Romo Mangun) is a great writer. I love all the bird analogy that he made in this book.

cintantyasr's review against another edition

Go to review page

5.0

""Tik, serius. Bagaimana seandainya, ini hanya... hanya seandainya. Bagaimana seandainya Teto tidak berminat padamu, jangan lagi melamar. Kan, bertepuk tangan sebelah tidak bisa."
"Kalau dia tidak melamar, sayalah yang melamar."
Terkejut Bu Antana mendengar ucapan yang menurut adat tidak semestinya itu.
"Apa itu tidak memalukan, Tik?"
"Memalukan? Ah, Ibu. Kan Atik tidak mencuri, tidak bohong, tidak berbuat eh... tidak... zina?"
"Ya, tetapi bagaimana seorang putri, kok, melamar?"
"Biasa, melamar. Keleting Kuning melamar Ande-Ande Lumut. Kan hikayat Jawa itu punya arti: ngunggah-unggahi asal baik-baik caranya, diakui sah, atau istilahnya: berusahalah."
Ibunya menggeleng-gelengkan kepalaya.
"Bagaimana andai ayahmu tahu itu?"
"O, Ayah pasti setuju dengan Atik.""
-- Hal. 214

Beberapa tahun lalu, jauh sebelum isu feminisme menjadi tren seperti sekarang ini dari belahan dunia Barat, sastrawan tanah air dan juga seorang laki-laki telah menciptakan tokoh-tokoh perempuan yang kuat dan berkharakter, mereka adalah Y.B. Mangunwijaya penulis buku ini dan Pramoedya Ananta Toer. Dan itupun hanya yang saya tahu. Mereka mungkin tidak bermaksud untuk ikut-ikutan tren jadi feminis, mereka memiliki pemikiran sendiri yang mungkin berasal dari kekaguman dan realita di sekitar mereka tentang sosok perempuan yang menginspirasi, tidak lebih tinggi ataupun lebih rendah dari laki-laki, dan memiliki kualitasnya tersendiri. Jika dalam kasus Pramoedya, Beliau hanya ingin membela yang lemah. Karena bagaimanapun memang dalam kenyataan perempuan banyak dilemahkan. Bukankah itu berarti telah melampui jamannya bahkan pemikiran masa kini?

Di samping penciptaan sosok Atik yang memiliki karakter kuat, sosok pemeran utama diciptakan bukan menjadi sosok yang jahat ataupun baik hati nan sempurna. Justru Setadewa, si pemeran utama, memiliki kompleksitas karakter yang membuat ia manusiawi. Romansa dengan Atik dan juga dengan keluarga serta dengan negerinya sendiri yang sedang bergolak adalah penggambaran yang terasa sangat dekat dan realistis. Pun gaya bahasanya sangat nJawani dan sebagai orang Jawa saya bisa merasakan cerita ini sangat hidup. Buku ini memberi kesan yang manis tapi manis yang sederhana. Suka sekali.

astalaa's review against another edition

Go to review page

dark emotional informative inspiring sad medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

Burung-Burung Manyar
by Y.B. Mangunwijaya

⭐5
Kisah romansa yang mengambil pelataran dari masa-masa kolonial Belanda, pemerintahan Jepang, kemerdekaan hingga masa orde baru. Unsur peperangan, politik, diplomasi, sejarah menjadi pewarna dan bumbu dalam kisah asmara Sutadewa (Teto) dengan Larasati (Atik).

Pergulatan batin Sutadewa dalam pemberontakannya melawan negerinya cukup menguras emosi. Bermula dari dendam yang ingin dicapainya hingga berujung pada kehancuran atas dendam itu sendiri. Serta kehilangan orang-orang terkasih atas kesalahan pilihan yang diambilnya dahulu.

Dampak pergeseran antara Pemerintahan Kolonial belanda ke pemerintahan Jepang, kemudian masa-masa revolusi juga diceritakan dan digambarkan dengan ciamik oleh romo mangun disini. Lingkungan istana yang tidak jujur, pejabat-pejabat yang sombong, lingkungan kerajaan/keraton yang ketat terikat digambarkan secara gamblang dan beberapa bahkan relate dengan pemerintahan saat ini.

Ini buku romansa era kolonial belanda - era orde baru yang benar-benar ciamik. Dituliskan dengan susunan kata yang benar-benar cantik. Cerita roman fiksi sejarah yang penggambarannya begitu sampai di hati pembaca (aku). Pesan-pesan kehidupan yang disampaikan melalui tokoh-tokohnya begitu hangat dan indah. 

Buku yang cantik, ciamik, penuh penghayatan dan sangat memperadukkan emosi🖤

marinazala's review

Go to review page

4.0

** Books 162 - 2014 **

selesaai jugaa membaca buku ini.. novel ini menceritakan kisah Teto atau Setadewa, anak seorang kapten KNIL yang ayahnya ditangkap oleh keipeitai dan ibunya Marice yg menjadi budak seks untuk pasukan jepang.. mencintai teman kecilnya, Atik

larasati atau dikenal Atik, anak seorang turunan raja yang ayahnya bekerja di dinas kehutanan di bogor.. mencintai sahabat kecilnya, Teto

saya menyukai buku ini dibagi menjadi 3 periode yang masing2 menunjukkan sisi2 pikiran Atik maupun teto silih berganti.. selain itu, Teto yang berambisi menjadi pasukan KNIL juga membenci pasukan jepang yang membunuh ibunya.. dia benci oleh sutan syahrir, soekarno dan pejuang kemerdekaan lainnya.. Teto lebih memilih menjadi tentara belanda ketimbang membela negerinya sendiri.. sedangkan dia gelisah Atik, wanita yg dicintainya adalah berasal dari orang yang memperjuangkan kemerdekaan negeri ini..kenapa perbedaan pandangan ini menyakitkan hatinya? tokoh Teto ini sekilas mengingatkan saya dengan tokoh Robert dari Robert anak Surapati karangan nur sutan iskandar

bagaimana hubungan mereka selanjutnya? Apa cinta saja sudah cukup meskipun itu tak memiliki? dari setting, cerita, mengaduk emosi saya berikan 3,8 dari 5 bintang! :)

anpurnama's review

Go to review page

4.0

memang roman Indonesia jaman dahulu bagusnya bukan main, terutama yang ini.

devinayo's review

Go to review page

4.0

Menawarkan sudut pandang menarik tentang awal mula republik ini. Kenapa kita memilih untuk bertarung di satu sisi, dan melawan yang lain. Baru terasa sebagai roman di paruh akhir buku, dan meskipun begitu tidak terasa picisan sama sekali. Kisah yang menarik, dan realistis. Mengajarkan bahwa ada cinta yang patut didambakan, dan bahwa cinta itu sebaiknya tetaplah hanya menjadi dambaan.

kura2ninja's review

Go to review page

2.0

"Ingin mirip dan meniru dan imitasi menjiplak Barat? Sungguh kuli dan babu bangsa ini. Dan lebih kuli lagi kau, Teto. Ya, itu benar. Sudah lama aku sadar bahwa sikapku yang begini ini sebetulnya ekspresi maksimal dari kekulian bangsaku."--hal. 284

Syukur sampeyan sadar, Mas Teto.

omuricemuseum's review

Go to review page

challenging emotional informative inspiring reflective tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? N/A
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.5

bukukurasi's review

Go to review page

4.0

Tokoh utama dalam novel ini adalah seorang pria indo alias campuran inlandeer dan bule yang memilih berpihak pada Belanda pada masa perang kemerdekaan. Menarik, karena ada kegalauan pada hati si tokoh, di satu sisi dia mencintai negeri Hindia (karena dia tidak mengakui Indonesia) dengan segala keindahan alam dan perempuannya tapi di sisi lain dia membenci para tokoh kemerdekaan yng dianggap berkomplot dengan jepang yang telah mengahncurkan keluarganya.

Ekspektasisaya, novel ini bisa membuat emosi saya terombang ambing seperti waktu membaca tetralogi pulau buru atau sang priyayi, memang jangan menaruh ekspektasi terlalu tinggi. Namun begitu, layaknya novel ini menjadi bacaan wajib di kalangan pelajar dan pecinta roman sejarah.