A review by itzreibrary
Tutur Dedes: Doa dan Kutukan by Amalia Yunus

2.0

Membaca buku ini, aku membayangkan seorang nenek renta sedang duduk di kursi goyangnya di sebuah panti jompo, bercerita tentang masa-masa kejayaannya dengan nada bahwa ia belum move on dari semua itu, kepada sesama penghuni panti (yang kesemuanya melepaskan alat bantu dengar mereka sementara ia bercerita).

Bila selama ini kisah kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara selalu berpusat di sekitar sang raja, kisah kali ini diceritakan melalui sudut pandang Ken Dedes, permaisuri Ken Angrok pendiri kerajaan Singasari. Dedes diceritakan sebagai gadis putri brahmana yang berkemauan keras dan pemberontak, berlatih memanah dan berkuda serta gemar membaca. Ia bahkan membentuk pasukan pemanah berkuda yang semuanya beranggotakan prajurit perempuan, dan turut andil dalam pemerintahan. Dan tentu saja, kecantikannya melegenda.

Sudut pandang Dedes kukira menjadi daya tarik utama buku ini. Pada masa itu, perempuan seperti Dedes konon langka. Sayangnya, aku merasa gaya bercerita Dedes terlalu berlebihan. Ia berulangkali mengatakan hal-hal seperti, "seandainya aku tahu kejadiannya begitu, aku pasti..." atau, "kelak di kemudian hari kecantikanku akan diabadikan...", atau setiap kali seseorang mengatakan sesuatu padanya selalu diikuti dengan narasi panjang tentang segala perasaan dan pemikirannya. Narasinya terlalu boros dan mendayu-dayu (kurasa mata-mata kerajaan tidak perlu menggambarkan betapa 'terik matahari memanggang punggung para bujangga' atau betapa 'surili dan lutung yang bergelantungan di pepohonan tiba-tiba waspada' saat melaporkan hasil pengamatan mereka). Aku juga tidak paham kenapa setiap percakapan harus dicetak miring padahal sudah dilengkapi dengan tanda baca. Yang paling kocak dan membuatku menggeleng tak percaya, ketika Dedes dalam keadaan koma rohnya melayang berjalan-jalan menyampaikan pesan dan memata-matai seperti Susie Salmon.

Selebihnya, buku ini cukup seru sih, dan menyegarkan ingatanku tentang kerajaan Kediri dan Singosari yang pernah kupelajari di SMP dulu. Aku cuma berharap Dedes tidak sebegitu cerewetnya. Baru mau dilahirkan saja sudah bawel.