A review by itzreibrary
Dari Dalam Kubur by Soe Tjen Marching

5.0

Dari Dalam Kubur oleh Soe Tjen Marching

Karla tidak pernah cocok di mana pun. Di kampungnya, orang-orang tahu ia berdarah Tionghoa namun matanya bulat dan kulitnya hitam sehingga seringkali ia mendengar komentar, Cino kok ireng (Cina kok hitam). Untungnya di sekolah teman-teman Karla tidak pernah melihat kedua orang tuanya, sehingga teman-temannya mantap menunjuk, “Karla Jawa”, saat mereka mencoba mengelompokkan anak-anak berdasarkan rasnya.

Sayangnya di rumah, Karla tidak seberuntung itu. Ia merasa mamanya sangat pilih kasih, lebih dekat
dengan kakaknya Katon yang memang sangat mirip dengan kedua orang tuanya; berkulit putih dan
bermata sipit. Mereka bahkan terbiasa berbicara bahasa Mandarin di rumah sehingga Karla merasa
dirinya sengaja tidak diajak dalam pembicaraan. Semakin dewasa, Karla semakin yakin kalau mamanya sendiri telah menciptakan neraka untuknya; ia tak hanya wanita yang pilih kasih dengan emosi yang labil dan meledak-ledak, tetapi juga suka mencela segala hal di sekitarnya, mulai dari orang-orang Jawa (yang disebutnya Huana dengan nada jijik), pemerintah, Hari Kartini, bahkan gereja dan pastornya. Lebih buruk lagi, ia juga mengambil segala hal yang disayangi Karla. Puncaknya saat Karla memperkenalkan
kekasihnya Dirman, lelaki Jawa tulen yang berasal dari keluarga kaya raya. Mamanya menentang keras
hubungan mereka, bahkan mengutuknya saat ia pergi meninggalkan rumah.

Baru 18 tahun kemudian, setelah mamanya meninggal, kebenaran tentang mamanya akhirnya terkuak. Masa lalu sedemikian kelam yang akhirnya menjustifikasi segala tindak-tanduknya di masa kecil Karla.

Aku tidak tahu bagaimana caranya menulis ulasan yang adil untuk buku ini. bagaimana cara
menggambarkan diskriminasi menjijikkan yang dialami oleh Karla dan ibunya. Bagaimana cara
menggambarkan perasaan si kecil Karla menghadapi ibu yang di matanya hanya menyinarkan kebencian
terhadap dunia, bahkan terhadap putrinya sendiri. Bagaimana cara menggambarkan pengalaman ibu
Karla, seorang perempuan Tionghoa yang dituduh terlibat dengan Gerwani dan G30S.

Buku ini penuh dengan kemarahan. Tapi bila seseorang mengalami ketidakadilan bertubi-tubi seperti yang dialami oleh Djing Fei alias Lydia Maria, apa yang bisa kauharapkan?

Aku bukan sales rep buku ini. Tapi Dari Dalam Kubur terlalu penting untuk dilewatkan. Semakin
mendekati akhir, kau akan semakin terlarut, dan semakin tercengang, ngeri, marah, jijik, saat menyadari kalau kisah dalam buku ini ternyata adalah fakta, nyata adanya.

“Siapapun bisa jadi jahat dan berbuat keji, tapi jauh lebih gampang memusuhi etnis daripada kelakuan
seseorang karena kelakuan yang keji itu sering kali bisa disembunyikan. Sedangkan warna kulit, mata
sipit, rambut pirang, atau hidung mancung lebih gampang kelihatan.” – hal 238.

”Rasisme tidak diciptakan oleh warna kulit atau bangsa apa pun. Rasisme dan diskriminasi diciptakan dalam pikiran. Manusia bisa saja mendiskriminasi dengan istilah-istilah dan cerita-cerita baru. Mereka bisa menciptakan diskriminasi apa pun bila mau.” – hal 268.

“Pantes saja setelah Putri Salju diciptakan, muncullah Cinderella, si upik abu yang kerjanya bersih-bersih rumah. Rupanya, perempuan selembut salju dan bermental babulah yang diharapkan begitu banyak pria. Setelah diperbudak, kalau bisa mereka juga bersedia diam seribu bahasa seperti Putri Tidur.” – hal 275.

“Pada waktu yang hampir sama, saya melihat darah menggenang dari kamar interogasi lain. Seorang ibu
menggeletak dipandang anaknya yang masih berumur delapan atau sembilan tahun. Sipir tambun yang
berada di dekatnya segera memerintahkan sang anak untuk ngepel darah tersebut. Gadis cilik itu manut,
dengan khidmat, tangannya yang mungil menyeka darah ibunya pakai kain pel lalu sekonyong-konyong
dibenamkan wajahnya ke dalam darah itu sambil menangis tersedu-sedu.
Pesta berlanjut, dengan tawa-tawa mereka, lagu yang berdentum keras, mereka sedang merayakan
penjarahan atas tubuh kita. Allah ndak menjaga kami di sini.” – hal 287.

“Inilah penjajahan yang sempurna, ketika sang budak jadi bahagia sebagai budak, dan bahkan memuja dan membela mati-matian sang tuan dengan jiwa dan raga mereka.” – hal 341.

“Ndak ada gunanya kesadaran kalau kita ndak mampu lepas dari kekejian. Malahan cuma nambahi
derita dan siksa. Mungkin orang menjadi gila bukan karena mereka sudah tak lagi waras, tetapi karena
mereka terlalu sadar atau jauh lebih sadar daripada orang waras.” – hal 344.

"Mungkin karena itulah manusia-manusia di sini ogah mbaca. Bukan saja karena kegoblokan dan
kemalasan tapi juga mungkin tanpa sadar hal inilah yang melindungi diri mereka. Sekarang, pengin sekali saya melupakan buku-buku yang sudah telanjur saya baca, yang cuma bikin saya tambah menderita. Waktu ketemu sama orang-orang dungu itu, saya jadi iri. Mereka bisa terus hidup tenteram bahagia tanpa mikir terlalu dalam.” – hal 345.

“Kedamaian yang dinikmati selama ini sebenarnya adalah sebuah pengkhianatan: pengkhianatan
terhadap sejarah Mama, terhadap berbagai ketidakadilan yang terjadi pada jutaan jiwa, terhadap
kebenaran.” – hal 501.