Scan barcode
A review by pasarmalam
Good Wives - Istri-Istri yang Baik by Louisa May Alcott
3.0
Nggak banyak yang bisa saya bicarakan.
Meski sukses bikin saya nangis terisak-isak di beberapa bagian, terus terang saya jauh lebih suka sama buku pertamanya (atau bagian pertamanya?), Little Women. Masih ada momen-momen heartwarming, wholesome, dan menginspirasi di sini, kita disuguhi March bersaudari yang beranjak dewasa dan sudah saatnya Jo bilang "aku nggak percaya masa kecil udah berakhir" sambil nyandarin kepala di pangkuan Meg di hari ketika kakaknya itu menikah. Apa yang dialami para gadis March bisa jadi terasa dekat sama kita, yang jadi alasan kenapa karya klasik ini nggak lekang oleh waktu. It was an enjoyable read :)
Mungkin, saya aja yang ngerasa begini, saya mengharapkan bisa lebih mendalami para tokoh cerita, God knows how much i love them all, tapi keberadaan narasi penuh pelajaran moral kadang bikin pikiran saya kabur lalu jengkel sendiri. Ini agak berkontradiksi sama review saya ke buku pertama, menurut saya gaya sisipan moral Louisa May cocok diselipkan untuk jenis cerita bertokoh anak-anak. Kalau tokohnya udah dewasa, rasanya aneh membeberkan pesan moral begitu gamblang dan bertele-tele seolah dihidangkan mentah begitu saja di atas piring. Sekali lagi, ini subjektif banget, barangkali saya aja yang cenderung menyukai gaya penulisan dengan pesan tersirat.
Meski sukses bikin saya nangis terisak-isak di beberapa bagian, terus terang saya jauh lebih suka sama buku pertamanya (atau bagian pertamanya?), Little Women. Masih ada momen-momen heartwarming, wholesome, dan menginspirasi di sini, kita disuguhi March bersaudari yang beranjak dewasa dan sudah saatnya Jo bilang "aku nggak percaya masa kecil udah berakhir" sambil nyandarin kepala di pangkuan Meg di hari ketika kakaknya itu menikah. Apa yang dialami para gadis March bisa jadi terasa dekat sama kita, yang jadi alasan kenapa karya klasik ini nggak lekang oleh waktu. It was an enjoyable read :)
Mungkin, saya aja yang ngerasa begini, saya mengharapkan bisa lebih mendalami para tokoh cerita, God knows how much i love them all, tapi keberadaan narasi penuh pelajaran moral kadang bikin pikiran saya kabur lalu jengkel sendiri. Ini agak berkontradiksi sama review saya ke buku pertama, menurut saya gaya sisipan moral Louisa May cocok diselipkan untuk jenis cerita bertokoh anak-anak. Kalau tokohnya udah dewasa, rasanya aneh membeberkan pesan moral begitu gamblang dan bertele-tele seolah dihidangkan mentah begitu saja di atas piring. Sekali lagi, ini subjektif banget, barangkali saya aja yang cenderung menyukai gaya penulisan dengan pesan tersirat.