A review by perpeitually
Gadis Pantai by Willem Samuels, Pramoedya Ananta Toer

5.0

Judul (Tahun): Gadis Pantai (1987)
Penulis: [a:Pramoedya Ananta Toer|101823|Pramoedya Ananta Toer|https://images.gr-assets.com/authors/1189683798p2/101823.jpg]
Penerbit: Lentera Dipantara
Edisi: Cetakan ke-14, Januari 2021

Saya telah menamatkan buku ini untuk kedua kalinya dan dapat dikatakan bahwa buku ini merupakan karya pertama dari Pak Pramoedya Ananta Toer yang saya lahap. Perkenalan pertama yang membuat saya merasa bahwa karya Beliau adalah sebuah klasik dari Indonesia yang tak boleh luput dari pembacaan.

Kendati sudah dua kali membaca karya ini, bayangan kengerian atas perbudakan yang dilakukan oleh para bangsawan di masa itu masih saja ada. Di zaman itu, perbedaan tempat tinggal saja dapat menjadi penentu apakah seseorang adalah bendoro atau hanyalah seorang sahaya, dan bersiap saja jika kamu berasal dari kampung kumuh. Kamu jelas-jelas ditempatkan di paling kaki-kaki para Bendoro. Sedih sekali hati saya, membayangkan roman ini sungguh benar terjadi di dunia nyata masa itu. Saya bayangkan penderitaan para warga kecil yang tak hanya diperbudak oleh Belanda tapi juga oleh orang-orangnya sendiri.

Keberanian Pak Pram untuk menulis roman yang sangat sarkastik seperti ini, daripada menyinggung Belanda yang sudah jauh, malah menohok para kaum priayi/terpelajar dan pemerintah. Pak Pram juga melukiskan penderitaan kaum perempuan sebagai kelompok yang paling rentan terhadap keganasan dual penjajahan yang terjadi. Gadis Pantai, baru saja menemui akil balighnya tapi sudah direnggut dari orang tuanya di Kampung Nelayan, dibawa ke bawah kaki seorang Bendoro yang entah sudah berapa kali "bermain kawin-kawinan" dengan anak-anak gadis sebelum Gadis Pantai.

Adalah sebuah budaya terkutuk pada zaman itu, namun dilanggengkan, untuk para Bendoro muda mengambil gundik dari desa-desa dan melahirkan anak bagi mereka. Untuk dicatat, apa yang Pak Pram tulis di Gadis Pantai, kemungkinan besar adalah kenyataan zaman itu.

Pak Pram bermain dengan kata-kata yang sederhana, yang anehnya menusuk setajam pisau yang telah diasah dengan baik, tepat di hati para pembacanya. Pak Pram bercerita, seolah ia ada di sana, melihat ketimpangan itu terjadi. Beliau juga menunjukkan ibanya kepada kaum kecil dan memutuskan untuk menyerukan suara mereka melalui karya-karyanya. Tak lupa, melalui karya-karyanya, Pak Pram juga "menyumpahi" para pemimpin dan orang-orang tamak yang sedang memegang kekuasaan.