Scan barcode
A review by blackferrum
Laiqa: Berapa Jarak antara Luka dan Rumahmu? by Nurillah Achmad
emotional
funny
informative
inspiring
lighthearted
reflective
sad
tense
medium-paced
- Plot- or character-driven? A mix
- Strong character development? Yes
- Loveable characters? Yes
- Diverse cast of characters? Yes
5.0
Belum pertengahan tahun udah nemu buku bagus banget. Enggak nyangka, kukira bakal saklek isinya soal pesantren beserta tata kelolanya (bah), ternyata ini cerita remaja yang dibungkus nuansa islami dan berlatar pesantren.
Ada 4 bagian cerita. Pertama dari sisi Kinar. Sebelum masuk pondok, ibunya meninggal. Siapa yang tidak sedih? Jarak antara rumah dan pondok juga tidak dekat. Kinar sudah enggan pergi ke pesantren ya soalnya ngapain? Dia kepengin di rumah aja, biar deket sama makam emak. Tapi, karena masuk ke pesantren adalah salah satu nazar emak, akhirnya Kinar tetap berangkat walaupun berat. Waktu pisah sama bapaknya, dia nangis lagi sampai pingsan. Di sini rasanya aku nggak sanggup nahan air mata. Pedih banget :(
Bagian kedua dari sisi Naray. Sebelumnya, bagian Kinar dijelaskan gimana cara dia survive hidup di pesantren tanpa histeris lagi. Salah satunya si Naray ini. Remaja yang semaunya sendiri dan kadang-kadang perilakunya bisa di luar nalar. Ternyata, ada kisah kelam di balik sifat Naray yang kayak begundal begitu. Naray bukan tipe anak yang nakal tapi nggak bertanggung jawab. Dia usil memang, tapi nggak sampai merugikan orang lain.
Bagian Naray yang bikin aku sebentar-sebentar berhenti karena harus ambil napas dalam-dalam. Orang tua Naray itu definisi orang dewasa yang egois. Ayahnya apa lagi. Abusif parah. Yang lebih bikin sakit hati adalah alasan Naray dimasukkan ke pesantren. Pernah dengar ada orang tua mengancam jika nakal akan dimasukkan pesantren? Alasannya kurang lebih sama dengan Naray. Bedanya, Naray tidak nakal, tidak juga diancam. Dia dipaksa masuk atau secara halusnya dibuang ke sana.
Tega banget orang tua Naray ini. Tega dan jahat sampai Naray bertanya ke diri sendiri, "Buat apa aku dilahirkan kalau nggak ada yang peduli sama aku?". TEGA KALIAN!
Bagian ketiga diceritakan dari sisi Ruth. Ruth ini anak yang diselamatkan Naray dari perundungan kakak kelas. Sejak itu, Ruth selalu dekat dengan Naray dan Kinar. Masa lalu Ruth juga nggak bisa dibilang mulus. Meskipun nggak ada masalah dari sisi orang tua atau kehilangan mereka, kehidupannya di sekolah bukannya serta-merta jadi lurus dan lancar. Dia korban perundungan yang sampai pada satu titik berpikir mati adalah jawaban yang tepat. Kalau nyawanya sudah melayang, dia nggak akan merasakan sakitnya dirundung lagi, kan?
Lalu apa yang membuat mereka bertiga bertahan? Ada sosok lain di balik semua kejadian. Nyai Hashina adalah guru dan orang dewasa yang yakin jika ketiga santriwatinya bisa menjadi orang yang lebih baik. Beliau selalu kasih kesempatan tanpa ragu, walaupun anak remaja pasti banyak tersesatnya. Bagian keempat diisi oleh kisah Nyai Hashina dan kisah masa lalunya yang ternyata sama-sama nggak enaknya.
Aku tahu ini bulan puasa, nggak boleh nangis, tapi aku nggak sendiri nggak bisa menahan rasa penasaran buat tahu ending ketiga remaja ini. Terlebih, mereka ini masih butuh bimbingan, tapi orang dewasa kebanyakan menghakimi dan kasih cap kalau mereka melanggar peraturan berarti mereka nakal.
Lalu ada isu perceraian yang kadang menjadikan anak sebagai korban. Lebih sedih lagi, di bawah ini disuarakan oleh seorang anak yang tidak berdaya:
Ada 4 bagian cerita. Pertama dari sisi Kinar. Sebelum masuk pondok, ibunya meninggal. Siapa yang tidak sedih? Jarak antara rumah dan pondok juga tidak dekat. Kinar sudah enggan pergi ke pesantren ya soalnya ngapain? Dia kepengin di rumah aja, biar deket sama makam emak. Tapi, karena masuk ke pesantren adalah salah satu nazar emak, akhirnya Kinar tetap berangkat walaupun berat. Waktu pisah sama bapaknya, dia nangis lagi sampai pingsan. Di sini rasanya aku nggak sanggup nahan air mata. Pedih banget :(
Bagian kedua dari sisi Naray. Sebelumnya, bagian Kinar dijelaskan gimana cara dia survive hidup di pesantren tanpa histeris lagi. Salah satunya si Naray ini. Remaja yang semaunya sendiri dan kadang-kadang perilakunya bisa di luar nalar. Ternyata, ada kisah kelam di balik sifat Naray yang kayak begundal begitu. Naray bukan tipe anak yang nakal tapi nggak bertanggung jawab. Dia usil memang, tapi nggak sampai merugikan orang lain.
Bagian Naray yang bikin aku sebentar-sebentar berhenti karena harus ambil napas dalam-dalam. Orang tua Naray itu definisi orang dewasa yang egois. Ayahnya apa lagi. Abusif parah. Yang lebih bikin sakit hati adalah alasan Naray dimasukkan ke pesantren. Pernah dengar ada orang tua mengancam jika nakal akan dimasukkan pesantren? Alasannya kurang lebih sama dengan Naray. Bedanya, Naray tidak nakal, tidak juga diancam. Dia dipaksa masuk atau secara halusnya dibuang ke sana.
Tega banget orang tua Naray ini. Tega dan jahat sampai Naray bertanya ke diri sendiri, "Buat apa aku dilahirkan kalau nggak ada yang peduli sama aku?". TEGA KALIAN!
Bagian ketiga diceritakan dari sisi Ruth. Ruth ini anak yang diselamatkan Naray dari perundungan kakak kelas. Sejak itu, Ruth selalu dekat dengan Naray dan Kinar. Masa lalu Ruth juga nggak bisa dibilang mulus. Meskipun nggak ada masalah dari sisi orang tua atau kehilangan mereka, kehidupannya di sekolah bukannya serta-merta jadi lurus dan lancar. Dia korban perundungan yang sampai pada satu titik berpikir mati adalah jawaban yang tepat. Kalau nyawanya sudah melayang, dia nggak akan merasakan sakitnya dirundung lagi, kan?
Lalu apa yang membuat mereka bertiga bertahan? Ada sosok lain di balik semua kejadian. Nyai Hashina adalah guru dan orang dewasa yang yakin jika ketiga santriwatinya bisa menjadi orang yang lebih baik. Beliau selalu kasih kesempatan tanpa ragu, walaupun anak remaja pasti banyak tersesatnya. Bagian keempat diisi oleh kisah Nyai Hashina dan kisah masa lalunya yang ternyata sama-sama nggak enaknya.
Aku tahu ini bulan puasa, nggak boleh nangis, tapi aku nggak sendiri nggak bisa menahan rasa penasaran buat tahu ending ketiga remaja ini. Terlebih, mereka ini masih butuh bimbingan, tapi orang dewasa kebanyakan menghakimi dan kasih cap kalau mereka melanggar peraturan berarti mereka nakal.
Lalu ada isu perceraian yang kadang menjadikan anak sebagai korban. Lebih sedih lagi, di bawah ini disuarakan oleh seorang anak yang tidak berdaya:
"Saat itu aku ingin bicara. Saat itu aku ingin sekali bersuara. Sayangnya, orang dewasa tak pernah melibatkan anak dalam persoalan begini. Mereka tak bertanya bagaimana pendapatku jika mereka tak lagi bersama. Padahal, aku ingin sekali berkata, mengapa ayah dan ibu menikah kalau pada akhirnya berpisah? Aku juga ingin bertanya, mengapa mereka memutuskan memiliki anak kalau pada akhirnya aku menjadi korban."
Aku suka cara berceritanya yang runut dan nggak keburu-buru. Walaupun dipercepat, tapi kerasanya baru kemarin. Terus karakterisasinya oke. Voice per anak beda, mengesampingkan permasalahan dan keterangan yang kasih pov siapa.
Buku ini wajib ada di perpustakaan sekolah. Menurutku, bukan bagian KDRT-nya yang harus ditutupi, atau kenakalannya yang mestinya nggak dibuat contoh, tapi gimana cara Kinar, Naray, dan Ruth bertahan sampai sekarang. Sampai ada masa ketika mereka menengok ke belakang, mereka bakal bangga karena udah berhasil melewati masa-masa berat itu.
Kudos buat penulisnya!
Graphic: Domestic abuse, Violence, and Death of parent