A review by clavishorti
Tiga dalam Kayu by Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

dark emotional mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? No
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

Dalam ketajaman pena Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie dalam menuliskan buku Tiga dalam Kayu, perpustakaan berubah menjadi takdir terkubur bagi cerita-cerita yang membebaskan rahasia zaman. Tiga dalam Kayu mengurai sejarah melalui corak unik masing-masing kisah yang disajikan, menawarkan perspektif unik yang mengundang kita berpikir ulang tentang makna sejarah itu sendiri. Apakah benang merah yang mengikat cerita-cerita ini dapat kita temukan? Mari kita memandang lebih dekat ke dalam buku ini, menyingkap lapisan-lapisan makna yang tersembunyi. 

 
[ Fitur untuk menyembunyikan bagian yang mengandung bocoran cerita tidak berfungsi sebagaimana mestinya pada ulasan ini. Oleh sebab itu, bagian-bagian di bawah ini mengandung bocoran secara terbuka. Terima kasih atas pemahamannya. ] 
 

Buku 1: Mekar Bunga Duka, Irama Kelam Seorang Ibu 
“Buku 1” menelusuri ruang emosional yang rumit dalam kehidupan seorang ibu, membawa kita melalui lorong-lorong gelap ke dalam hati seorang perempuan yang dihadapkan pada pilihan sulit. Cerita ini menyingkap tirai kehidupan seorang ibu yang tumbuh benih pahit di dalam dirinya. Tanpa ragu, penulis menciptakan gambaran tentang penderitaan seorang ibu yang berusaha tegar, meski hatinya terluka. 
 
Dalam kegelapan psikologis ini, kita saksikan bagaimana seorang anak menyalahkan ibunya atas benih pembunuh yang tumbuh dalam dirinya. Di tengah-tengah ketidakmengertian anak, “Buku 1” menjadi gambaran universal dari para ibu yang seringkali harus menyembunyikan derita mereka di balik senyum tulus. “Tidak tahukah dia? Para ibu membakar habis kelenjar air mata biar tak ada yang tahu kalau mereka malu dan menderita.”Kutipan ini meresap dalam cerita, mengungkapkan kontradiksi antara ketahanan dan kesedihan yang terus dipendam. 
 
Dalam lapisan emosi yang lebih dalam, cerita ini membawa kita ke sosok seorang kawan kecil tokoh utama, menciptakan bayangan ketakutan yang menyelubungi dirinya. Kawan kecilnya ini merasa ketakutan ketika berada di sekitar petani, tanpa menyadari bahwa sebenarnya ketakutannya timbul karena perilaku kasar bapaknya yang merupakan seorang petani, seringkali menggunakan cangkul sebagai alat kekerasan. Kehadiran figur ini menciptakan ruang yang semakin gelap dalam “Buku 1”, menggambarkan kekejaman yang tersembunyi di balik kehidupan anak-anak, merajut luka-luka yang tersembunyi dalam hati kecil yang rentan. 
 
Dengan sentuhan tajam penulis, “Buku 1” bukan sekadar kisah tentang ibu yang menanggung derita, tetapi juga tentang rumah tangga yang menjadi medan pertempuran bagi kekerasan dan ketakutan. Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie menjelajahi kompleksitas dinamika keluarga dengan penuh kepekaan, menyoroti sisi-sisi yang seringkali tersembunyi di dalam rumah tangga. 
 
 
Buku 2: Menari di Antara Bayang-Bayang 
Dalam “Buku 2”, kita dihadapkan pada kisah seorang nenek yang memimpin kita melalui coretan sejarah hidupnya yang penuh perjuangan. Ketika masih muda, dia adalah seorang penari Jawa yang memancarkan kecantikan dan keanggunan. Pada suatu saat, dia dan kawan-kawannya diundang untuk menari di rumah pejabat tanah, sebuah undangan yang seolah membawa angin segar namun berubah menjadi jebakan mematikan. Mereka dikhianati, terperangkap dalam jala keinginan bejat para pejabat dan tamu yang seharusnya menjadi penyanjung seni. Nenek, dengan keberanian yang meluap, berhasilkan melarikan diri. 
 
Cerita ini menjadi cermin kejamnya realitas di mana perempuan harus ‘berlari’ untuk melindungi diri mereka dari pelecehan dan penindasan seksual. Penggambaran ini, meskipun bertempat di masa lalu, menggugah kesadaran tentang betapa seringnya perempuan masih terjebak dalam ketidakamanan dan perlakuan tidak adil hingga masa kini. Pilihan Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie untuk mengaitkan kisah nenek dengan narasi zaman sekarang memberikan sentuhan mendalam, menyiratkan bahwa perjuangan dan kekhawatiran nenek tetap relevan dan terus terjadi di generasi-generasi selanjutnya. 
 
 
Buku 3: Memori Ketegangan, Kerusuhan, dan Harapan Terputus 
Dalam “Buku 3”, Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie membawa kita ke masa yang pekat dengan peristiwa tragis: Kerusuhan Mei 1998 di Indonesia. Cerita ini memberikan kita pandangan yang tajam terhadap ketidakamanan dan ketakutan yang dirasakan oleh pasangan suami-istri yang menantikan kelahiran anak mereka di tengah kekacauan. Dalam keadaan genting, dengan rumah-rumah tertentu menjadi target, pasangan ini harus menghadapi ancaman nyata. Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie dengan lihai memasukkan elemen sejarah nyata, menggambarkan ketakutan akan kekerasan rasial dan kekhawatiran akan kehilangan rumah dan orang terkasih. 
 
Melalui penggambaran keadaan sekitar dan perjuangan karakter, kita menyaksikan dengan nyata bagaimana etnis Tionghoa menjadi sasaran dalam kerusuhan tersebut. Dalam “Buku 3”, Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie dengan lihai menuntun pembaca masuk ke dalam realitas yang penuh konflik dan kekhawatiran yang tidak hanya bersifat fiksi, melainkan mencuat dari luka-luka sejarah yang nyata dan tragis. 
 
 
Buku 4: Bayangan Cinta Tanpa Jejak 
Dalam “Buku 4”, kisah menghadirkan lanskap pahit perempuan yang terjerat dalam pernikahan tanpa cinta. Penulis memetakan perjuangan seorang perempuan yang terpaksa meniti hidup bersama pasangan yang tidak mampu memberikan cinta sejati. Kisah anak yang lahir tanpa bapak menjadi benang merah yang menyorot ketidakadilan dan ketidakakuan dalam keluarga. Penulis menggambarkan bagaimana anak tersebut tidak diakui oleh keluarga bapaknya, menciptakan luka yang dalam dan rahasia yang merayap di balik tabir hubungan keluarga. 
 
Dalam alur yang memikat, misteri menyelimuti si nenek buyut, membuat saya berpikir, mungkinkah dia adalah hasil dari hubungan terlarang Tuan Van Wijk dengan perempuan selain Nyonya Van Wijk? Intrik ini menambah dimensi dramatis cerita, memunculkan pertanyaan mengenai rahasia keluarga dan pengaruhnya terhadap kehidupan karakter utama. Keberanian penulis menggali isu-isu kompleks seputar pernikahan tanpa cinta dan identitas anak tanpa bapak menciptakan lapisan emosional yang mendalam, merangkul pembaca dalam perjalanan yang sarat makna. 
 
 
Buku 5: Melongok di Balik Tirai Kehidupan 
Dalam “Buku 5”, kita dihadapkan pada kebingungan yang misterius, seakan memasuki labirin perenungan. Cerita ini menyoroti tipu daya persepsi, di mana apa yang terlihat di luar seringkali menutupi kenyataan yang lebih dalam. Cerita ini berpusat pada sepasang suami istri yang tampaknya memiliki sifat yang sangat kontras. Si kakek, yang lembut dan penuh kasih terhadap ikan, berbanding terbalik dengan sang istri yang terkenal dengan keahlian memasak ikan. Di balik harmoni keluarga yang terpampang, muncul pertanyaan mendalam mengenai sejauh mana penilaian orang terhadap kebahagiaan seseorang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Apakah ada makna mendalam yang tersembunyi di balik kisah ini, ataukah ini hanyalah cerminan ironis dari realitas kehidupan? 
 
 
Buku 6: Jeritan Ketidakamanan 
“Buku 6” menceritakan sebuah realitas yang memilukan dan gelap. Di dalamnya, seorang perempuan yang hidup dengan keterbelakangan mengalami pemerkosaan yang keji. Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie dengan berani menyajikan kekejaman yang dihadapi perempuan dengan cara yang tak tersembunyi, merincikan betapa para laki-laki memanfaatkan kelemahan fisik perempuan ini untuk memuaskan nafsu bejat mereka. Cerita ini membuka tabir kelemahan sosial yang masih menghantui, menyoroti ketidaksetaraan dan ketidakamanan yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari perempuan. Dengan kebrutalan dan ketidakamanan sebagai sorotan utama, “Buku 6” menjadi panggilan untuk perubahan dan keadilan dalam masyarakat yang masih sering kali memandang sebelah mata akan ketidakamanan perempuan. 
 
 
Buku 7: Merajut Kembali Kenangan 
“Buku 7” menghadirkan perasaan yang rumit, merinci kisah seorang individu yang, meskipun telah menapaki jalan perkawinan dan menjadi orangtua, masih terjerat dalam kungkungan kerinduan terhadap orang terkasihnya. Dalam permainan emosi yang halus dan menghanyutkan, Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie melukiskan betapa cinta sejati dapat melampaui batas waktu dan kehadiran fisik. Pada lapisan terdalam, kita menyaksikan kegigihan tokoh utama untuk mempertahankan ikatan batin bahkan ketika telah terputus di dunia nyata, namun terus berkobar dalam alam perasaannya. 
 
Namun, sementara rindu dipaparkan, pertanyaan etika muncul seiring dengan perjalanan cerita. Apakah tindakan tokoh utama ini dapat dianggap sebagai perselingkuhan emosional? Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie menciptakan dilema moral yang merangsang pemikiran, menggali ke dalam kompleksitas hubungan manusia yang melampaui batas norma konvensional. Kita diajak merenung tentang apakah pengorbanan sejati dapat dilakukan tanpa menyentuh garis batas moral yang mengapit kehidupan sehari-hari. 
 
 
Buku 8: Ketika Rumah Menjadi Penjara 
Dalam “Buku 8”, Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie mengeksplorasi lorong gelap hubungan pernikahan, menyoroti isu Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan pemerkosaan yang seringkali terbungkus dalam tirai rahasia. Cerita ini menjadi panggung bagi konsen yang sering terabaikan dalam dinamika suami-istri. Meski telah memasuki ikatan pernikahan, konsen dan kebutuhan istri tetaplah penting, seperti sebuah panggilan yang seringkali disisihkan di tengah dinamika rumah tangga. 
 
Penulis dengan berani menyajikan kenyataan pahit tentang bagaimana kekerasan dapat menghiasi dinding rumah tangga, merusak fondasi yang seharusnya menjadi tempat perlindungan. Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie mengajak pembaca untuk menghadapi ketidaknyamanan, menyorot keberanian perempuan untuk mengekspresikan konsen mereka, bahkan ketika dihadapkan pada kekerasan domestik yang terus membelenggu. Sebuah perjalanan dalam kegelapan rumah tangga yang menegaskan bahwa setiap suara, terlepas dari gender, memiliki hak untuk didengar. 
 
 
Buku 9: Antara Duka dan Keberanian, Terpintal dalam Alam Mimpinya 
“Buku 9” adalah perjalanan gelap ke dalam kehidupan seorang anak yang diculik, merentangkan lapisan kekejaman lelaki bejat. Kisah ini membuka lembaran kelam tentang trauma yang tak terlupakan dan rasa takut yang merasuki jiwa sang anak terhadap lelaki. Terpisah dari realitas kejam tersebut, kita diajak menyelami alam mimpinya yang menjadi tempat pelarian, namun juga panggung untuk merayakan keteguhan hati. Di tengah kengerian yang dialami, kekuatan untuk tetap menyayangi bapak dan kakaknya menjadi simpul emosional yang mengejutkan dan mengharukan, memberikan warna kontrast di tengah kisah yang penuh kegelapan. 
 
 
Buku 10: Api Semangat yang Mati Ditelan Maskawin 
“Buku 10” menjadi panggung bagi narasi yang menghancurkan, mengisahkan bagaimana perempuan menjadi tawanan tak terlihat dalam ritual maskawin. Dalam tarian kehidupan yang dipimpin oleh keinginan suami, perempuan dihadapkan pada pilihan menyakitkan: patuh dan mati rasa, atau melawan dan dihantui oleh stigma sosial. Seperti dirantai oleh norma-norma patriarki yang kaku, perempuan ini terpaksa merelakan mimpi dan cita-citanya menjadi reruntuhan yang dilangkahi oleh kehendak pria. Sebuah narasi tanpa ampun yang memotret realitas tragis di mana wanita harus merelakan bagian terbaik dari diri mereka demi memenuhi ekspektasi budaya yang menyempit. 
 
Dalam “Buku 10”, Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie dengan keberanian menghadirkan sorotan tajam pada perbudakan emosional yang dialami perempuan. Seperti api semangat yang dipadamkan, kisah ini merinci bagaimana tekanan sosial dan budaya memaksa perempuan untuk menutup diri dari dunianya sendiri. Di antara perayaan pernikahan dan maskawin, ada kehilangan besar yang terjadi, tidak hanya pada perempuan individu tetapi pada seluruh masyarakat yang kehilangan potensi dan kreativitas yang bisa ditawarkan oleh setiap perempuan. Dengan lugas dan intens, “Buku 10” membangunkan kesadaran akan ketidakadilan yang mengikat dan merenggut kehidupan perempuan dalam lingkungan yang seharusnya memuliakan, bukan membelenggu. 
 
 
Buku 11: Lukisan Kekejaman, Anak-Anak sebagai Korban Tak Terelakkan 
Dalam “Buku 11”, Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie menggambarkan sebuah dunia di mana istri-istri, terjebak dalam reruntuhan pernikahan yang penuh kepahitan, menyalurkan ketidakpuasan mereka pada anak-anak tak berdaya. Cerita mengupas keberanian dan penderitaan orang-orang yang berhadapan dengan kekuatan yang tak terelakkan, entah itu dalam bentuk fisik atau batin. Tidak ada lapisan perlindungan bagi mereka yang rentan di hadapan kekerasan, dan “Buku 11” membeberkan realitas kelam ini dengan penekanan yang mengguncang. 
 
 
Setelah membenamkan diri dalam alam suram Tiga dalam Kayu karya Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie, saya menemukan perjalanan membaca yang menggugah. Mirip dengan karyanya yang lain, Kapan Nanti, gaya bahasanya yang tak tertandingi dan penyampaiannya yang unik, sepertinya menjadi tanda tangan penulis yang sukses membuat saya terpukau. 
 
Dengan total 18 bagian, bagian 1 hingga 11 dipersonifikasikan menjadi Buku 1 sampai Buku 11. Meski pada awalnya terasa seperti kumpulan cerita pendek, ternyata Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie telah menarik benang merah yang menghubungkan setiap kisah dalam sebelas kisah tersebut. Keberanian membuka jendela kisah inti setelah Buku 11, memberikan nuansa yang semakin gelap pada benang yang membentuk narasi tragis ini, terutama menggambarkan penderitaan kaum perempuan dan anak-anak. 
 
Namun, yang membuatnya semakin menarik adalah pengungkapan bahwa kesebelas kisah ini sebenarnya adalah koleksi buku dari seorang gadis. Dalam penggabungan judul bagian yang diberi nama Buku 1 hingga Buku 11, Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie berhasil menciptakan sebuah narasi yang melibatkan pembaca secara lebih mendalam. Ketika memasuki 7 bagian berikutnya, kita dibawa ke dalam dunia novela dengan sentuhan lirik lagu Rusia berjudul Под облачком (Pod Oblachkom), yang dalam bahasa Inggris artinya adalah By the Window. Lirik-liriknya seperti mantra yang mengguncang emosi, membuka tirai tragedi dan kegilaan yang membuat kita bergidik. 
 
Dalam kesimpulannya, Tiga dalam Kayu menjadi sebuah perjalanan emosional yang mengeksplorasi lapisan-lapisan kegelapan dan cahaya dalam kehidupan. Fokus utama buku ini terletak pada tragedi-tragedi tragis, dengan porsi besar ditumpukan pada penderitaan kaum perempuan dan anak-anak. Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie tidak hanya menyajikan kisah, tetapi juga menyuguhkan pengalaman yang merangsang pemikiran. Sementara kita tenggelam dalam pelangi keberuntungan, janganlah kita melupakan kenyataan bahwa beberapa orang hidup dalam dunia hitam-putih, menunggu kehadiran tangan kita untuk membawa keajaiban dan memberikan sentuhan warna pada hidup mereka. 
 
“Mereka perempuan. Ini kebaikan.”
Ini kebaikan.
Ini kebaikan. 

Expand filter menu Content Warnings