Scan barcode
A review by moilady
Ikan Kecil by Ossy Firstan
emotional
lighthearted
sad
fast-paced
- Plot- or character-driven? Character
- Strong character development? Yes
- Loveable characters? Yes
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? Yes
5.0
Salah satu buku yang aku baca sekali duduk. Walaupun butuh waktu yang cukup lama buat memulai baca buku ini.
Jujur, sewaktu aku baca buku ini, aku baca melalui aplikasi buku digital, yang mana aku melirik buku ini karena covernya yang super gemas, dan judul yang gak kalah gemas. Singkatnya, aku baca tanpa melirik blurbnya terlebih dahulu. Jadi, responku mungkin akan sedikit berbeda dengan orang lain yang lebih dulu baca blurbnya.
Awalnya, buku ini menyuguhkan tangis-tangisan, yang membuat aku berpikir, "Wah, ada apa, nih? Kok awal-awal udah nangis?"
Pokoknya aku suuzon berat. Walaupun selama baca buku ini aku cukup nyaman, bahasanya ringan, dengan alur awal yang cukup sering menjadi persoalan di keluarga.
Persoalan kapan nikah, kapan punya anak, kapan kakaknya punya adik, persoalan-persoalan yang pasti sangat besahabat dengan kita yang hidup di negara kita tercinta ini. Sehingga sewaktu baca buku ini, aku nggak banyak mikir, tapi banyak misuhnya.
Diawali dengan penantian Loi dan Deas yang mendamba seorang anak setelah pernihakan yang menurut kebanyakan orang, sih, sudah cukup lama dengan bumbu pedas dari tingkah Bude Hanum yang mulutnya minta disumpel cabe, duh, super menyebalkan. Tapi, mungkin nyata dan ada di sekitar kita.
Kehidupan rumah tangga yang ... wajar?
Aku juga berpikir begitu, awalnya. Tapi, semuanya berubah setelah Loi mulai hamil. Seorang wanita karir, yang menurutku sangat wajar kalau dia tetap mau bekerja disaat dia mengandung. Tapi, di sini digambarkan beberapa kebiasaan dia yang nggak bisa dihilangkan terutama soal makanan, dan ketekunan dia dalam bekerja sampai-sampai sering lembur buat keningku sedikit mengkerut. Sampai akhirnya Loi sendiri beberapa kali pendarahan, I thought she had a miscarriage but thank God, she's not dan membuat dia pada akhirnya memilih untuk rehat.
Sayangnya kehidupan yang tenang pada masa kehamilan Loi mulai berubah saat Loi mau tidak mau melahirkan anaknya sebelum genap berusia sembilan bulan. Dari sini mulai digambarkan bagaimana Loi mengalami baby blues yang mungkin terjadi sama siapa aja, sampai pada di mana anak mereka Oleiro pun tumbuh dan berkembang.
Dan dalam penggambaran tumbuh kembang Olei ini, aku mulai curiga ada sesuatu yang terjadi kepada Olei. Terbukti dugaanku benar, Olei mengalami autism.
Pada bagian ini, perasaanku dibuat campur aduk. Nggak lagi cuma sekadar kesal dan marah dengan mulut pedasnya Bude Hanum, tapi juga aku merasa kesal, sebal, sekaligus sedih saat mengetahui bagaimana respon Loi dan Deas terhadap kondisi Olei.
Apalagi di saat Deas berkata, "Santai aja," di saat (menurutku) adalah waktu untuk mulai aware dengan perkembangan Olei yang sedikit berbeda tapi Deas justru terlihat lebih santai dan mengganggap apa yang terjadi pada Olei ini adalah sesuatu yang wajar karena perkembangan tiap anak itu berbeda (walaupun ini ada benarnya). Tapi, tetap saja ... kesal.
Lalu, bagaimana penyangkalan terus-menerus yang dilakukan Loi terhadap kondisi Olei membuat aku benar-benar dilema.
Satu sisi, sebagai orang yang bisa dibilang cukup paham apa itu autism, aku merasa sedih sekaligus ingin marah karena secara gak langsung Loi sudah bersikap abai terhadap anaknya. Tapi, di sisi lain aku juga mafhum atas sikap Loi yang terjebak dalam fase denialnya. Sebuah respon psikologis yang menurutku nggak bisa dikatakan salah juga.
Sedih, campur aduk, semuanya.
Walaupun begitu, cerita di buku ini bisa dikatakan sangat bagus meski terbilang ringan. Apalagi epilognya sukses besar buat aku menangis haru. Ada rasa ikut bahagia atas apa yang akhirnya dicapai oleh Olei. Aku ikut merasa bangga.
Buku ini juga sebetulnya bisa mengajak kita untuk lebih aware sama kondisi-kondisi lain yang sedikit berbeda dengan kita, dan bisa membantu bahwa walaupun berbeda, kita tetap sama-sama manusia. Jadi, gak seharusnya kita bersikap lain dengan mereka dan gak seharusnya juga kita menyalahkan satu pihak atas kondisi mereka.
Mereka tidak salah, begitupun dengan kita.
Jujur, sewaktu aku baca buku ini, aku baca melalui aplikasi buku digital, yang mana aku melirik buku ini karena covernya yang super gemas, dan judul yang gak kalah gemas. Singkatnya, aku baca tanpa melirik blurbnya terlebih dahulu. Jadi, responku mungkin akan sedikit berbeda dengan orang lain yang lebih dulu baca blurbnya.
Awalnya, buku ini menyuguhkan tangis-tangisan, yang membuat aku berpikir, "Wah, ada apa, nih? Kok awal-awal udah nangis?"
Pokoknya aku suuzon berat. Walaupun selama baca buku ini aku cukup nyaman, bahasanya ringan, dengan alur awal yang cukup sering menjadi persoalan di keluarga.
Persoalan kapan nikah, kapan punya anak, kapan kakaknya punya adik, persoalan-persoalan yang pasti sangat besahabat dengan kita yang hidup di negara kita tercinta ini. Sehingga sewaktu baca buku ini, aku nggak banyak mikir, tapi banyak misuhnya.
Diawali dengan penantian Loi dan Deas yang mendamba seorang anak setelah pernihakan yang menurut kebanyakan orang, sih, sudah cukup lama dengan bumbu pedas dari tingkah Bude Hanum yang mulutnya minta disumpel cabe, duh, super menyebalkan. Tapi, mungkin nyata dan ada di sekitar kita.
Kehidupan rumah tangga yang ... wajar?
Aku juga berpikir begitu, awalnya. Tapi, semuanya berubah setelah Loi mulai hamil. Seorang wanita karir, yang menurutku sangat wajar kalau dia tetap mau bekerja disaat dia mengandung. Tapi, di sini digambarkan beberapa kebiasaan dia yang nggak bisa dihilangkan terutama soal makanan, dan ketekunan dia dalam bekerja sampai-sampai sering lembur buat keningku sedikit mengkerut. Sampai akhirnya Loi sendiri beberapa kali pendarahan, I thought she had a miscarriage but thank God, she's not dan membuat dia pada akhirnya memilih untuk rehat.
Sayangnya kehidupan yang tenang pada masa kehamilan Loi mulai berubah saat Loi mau tidak mau melahirkan anaknya sebelum genap berusia sembilan bulan. Dari sini mulai digambarkan bagaimana Loi mengalami baby blues yang mungkin terjadi sama siapa aja, sampai pada di mana anak mereka Oleiro pun tumbuh dan berkembang.
Dan dalam penggambaran tumbuh kembang Olei ini, aku mulai curiga ada sesuatu yang terjadi kepada Olei. Terbukti dugaanku benar, Olei mengalami autism.
Pada bagian ini, perasaanku dibuat campur aduk. Nggak lagi cuma sekadar kesal dan marah dengan mulut pedasnya Bude Hanum, tapi juga aku merasa kesal, sebal, sekaligus sedih saat mengetahui bagaimana respon Loi dan Deas terhadap kondisi Olei.
Apalagi di saat Deas berkata, "Santai aja," di saat (menurutku) adalah waktu untuk mulai aware dengan perkembangan Olei yang sedikit berbeda tapi Deas justru terlihat lebih santai dan mengganggap apa yang terjadi pada Olei ini adalah sesuatu yang wajar karena perkembangan tiap anak itu berbeda (walaupun ini ada benarnya). Tapi, tetap saja ... kesal.
Lalu, bagaimana penyangkalan terus-menerus yang dilakukan Loi terhadap kondisi Olei membuat aku benar-benar dilema.
Satu sisi, sebagai orang yang bisa dibilang cukup paham apa itu autism, aku merasa sedih sekaligus ingin marah karena secara gak langsung Loi sudah bersikap abai terhadap anaknya. Tapi, di sisi lain aku juga mafhum atas sikap Loi yang terjebak dalam fase denialnya. Sebuah respon psikologis yang menurutku nggak bisa dikatakan salah juga.
Sedih, campur aduk, semuanya.
Walaupun begitu, cerita di buku ini bisa dikatakan sangat bagus meski terbilang ringan. Apalagi epilognya sukses besar buat aku menangis haru. Ada rasa ikut bahagia atas apa yang akhirnya dicapai oleh Olei. Aku ikut merasa bangga.
Buku ini juga sebetulnya bisa mengajak kita untuk lebih aware sama kondisi-kondisi lain yang sedikit berbeda dengan kita, dan bisa membantu bahwa walaupun berbeda, kita tetap sama-sama manusia. Jadi, gak seharusnya kita bersikap lain dengan mereka dan gak seharusnya juga kita menyalahkan satu pihak atas kondisi mereka.
Mereka tidak salah, begitupun dengan kita.
Minor: Abandonment