A review by seunghyunjee
Murambi: Buku Tentang Tulang Belulang by Boubacar Boris Diop, Ari Bagus Panuntun

4.0

4.75 stars!
/tw bloods, genocide, rape
Novel ini terlalu gila untuk tidak aku baca dan rekomendasikan pada kalian. Setelah selesai membaca novel ini, kemudian melihat dunia sedang carut marut, aku pribadi merasa gagal menjadi manusia. Memangnya kenapa? Karena di belahan dunia lain, untuk bisa menghirup napas saja, mereka ketakutan setengah mati...
.
Novel ini sudah ku antisipasi sejak tahun lalu, tapi baru kesampaian membaca awal tahun ini. Awalnya, ku pikir Murambi: Buku Tentang Tulang Belulang ini buku non fiksi yang akan menjabarkan bagaimana terjadinya Genosida di Rwanda dan ternyata aku salah. Ini buku fiksi yang menjadikan Genosida di Rwanda sebagai latar belakang penceritaannya. Di bagian awal, ada semacam catatan penulis, yang menceritakan mengapa buku ini harus hadir ke dunia dan juga dibaca oleh banyak orang. Genosida di Rwanda bukan hanya isapan jempol atau sebuah peristiwa geger yang perlu mendapatkan perhatian dari seluruh penjuru dunia, tetapi terjadinya Genosida di Rwanda, dengan korban nyaris 1juta orang terbunuh dalam waktu kurang dari 100 hari, merupakan sebuah kompleksitas pelik yang menjadi tanggung jawab banyak pihak. Dari bagian awal, aku akhirnya menyadari bagaimana hegemoni bangsa barat saat itu -terutama Prancis dan Belgia, benar-benar memberi dampak luar biasa di benua Afrika, termasuk di Rwanda.
.
Novel ini diceritakan dari sudut pandang beberapa tokoh "sentral" mulai dari kaum Hutu, kaum Tutsi, para korban "selamat" dan salah seorang Kolonel dari Prancis. Tiap tiap bagian yang diceritakan di novel ini, jujur saja, membuat aku amat ngeri dan juga mual, dan juga merasa gagal menjadi manusia. Negara-negara barat yg sempat menduduki Rwanda pada akhirnya membuat hubungan antar etnis -Hutu, Tutsi dan Twa, yang awalnya hanya sebagai "identitas" semata, kemudian berubah menjadi "ajang balas dendam". Ketika presiden Rwanda yg rasis bernama Grégoire Kayibanda naik jabatan, kekerasan terhadap Tutsi makin menjadi dan makin brutal. Pada awal tahun 1990an, harapan untuk meredakan konflik di Rwanda pernah memiliki asa, apalagi FPR (Front Patriotik Rwanda) sempat mengguncang stabilitas pemerintahan presiden Habayarimana dan memaksa beliau untuk menandatangani Perjanjian Arusha. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama karena pesawat yang ditumpangi presiden Habayarimana tertembak rudal. Sampai saat ini, tidak ada yang tahu siapa pelaku dari penembakan tersebut. Dan... Genosida yang jauh lebih mengerikan kemudian dimulai. Kurang dari 100 hari, Rwanda berubah menjadi neraka paling mengerikan di dunia. Para jagal ada di mana-mana, siap menghabisi para Tutsi yang masih berada di Rwanda.
.
Jangan pernah membayangkan bagaimana aku bisa bertahan ketika membaca bagian demi bagian yang menceritakan bagaimana mengerikannya para jagal saat itu. Mereka menggunakan golok untuk membunuh orang-orang. Mereka membiarkan para wanita hidup sedikit lebih lama agar mereka bisa menikmatinya secara bergilir sebelum kemudian dilenyapkan dari di dunia ini. Di buku ini, juga diceritakan bahwa ada tempat bernama Ntarama dan Gereja Nyamata yang menjadi saksi bisu kekejaman genosida di Rwanda. Tulang belulang para korban dibiarkan di seluruh sudut tempat itu sebagai salah satu cara untuk "bicara pada dunia" bahwa kekejaman di negeri itu pernah benar-benar terjadi dan seharusnya dunia bisa lebih memperhatikan mereka ketimbang menganggap sebagai sebuah "berita besar". Hatiku benar-benar mencelos saat membaca bagian ketika ada seorang mayat wanita yg dirawat sedemikian rupa dan kondisi mayat itu benar-benar membuatku hilang akal. Oh Tuhan, aku tidak menyangka manusia bisa jauh lebih jahat dari pada Iblis sekalipun!
.
Ntarama dan Gereja Nyamata bukan satu-satunya tempat yang menjadi saksi bisu kekejaman genosida di Rwanda. Di Murambi, tepatnya di sebuah Sekolah Teknik, pernah ada harapan bagi orang-orang Tutsi untuk tetap hidup, tapi ternyata itu hanya sebuah janji kosong dari seseorang yg katanya amat berpengaruh di Rwanda. Di Sekolah Teknik Murambi, para mayat juga dibiarkan untuk "bicara" pada mereka yang mendatangi Sekolah Teknik itu. Setelah pembantaian di Sekolah Teknik Murambi, pasukan Prancis melakukan Operasi Turqoise yang berniat "untuk melindungi" korban Genosida. Tetapi tentu saja, Prancis tidak melakukan itu secara cuma-cuma...
.
Membaca buku ini, ketika di belahan dunia lain sedang terjadi genosida tiada henti (bahkan di Sudan, Congo dan Armenia juga tengah terjadi hal serupa), membuatku makin sadar bahwa hal-hal semacam itu bisa terjadi pada siapa saja, pada kita sekalipun. Dunia ini ternyata terlalu jahat untuk ditinggali...
.
Murambi: Buku Tentang Tulang Belulang menjadi salah satu buku rekomendasi dariku yg wajib masuk ke to-be-read kalian. Membaca buku ini sama dengan mengakui fakta apa yang telah terjadi di Rwanda adalah buah dari hegemoni bangsa barat terhadap benua Afrika. Dengan membaca buku ini, aku pikir sama artinya dengan mendengarkan testimoni para penyintas.