A review by yuusasih
Semusim, dan Semusim Lagi by Andina Dwifatma

3.0

Dan akhirnya Sayembara Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2012 menghasilkan pemenang di ranah magical-realism/surreal-fiction. Yaaaaaaaaay!

Saya sangat suka novel-novel dalam genre ini, seperti novelnya Haruki Murakami, Kafka, Jostein Gaarder, etc. Saya menggilai genre ini, jadi tentu saja, begitu ada novel pemenang DKJ yang katanya dari genre ini, saya langsung memutuskan untuk beli seketika.

Novel ini bercerita tentang Aku, seorang anak tamatan SMA yang berencana melanjutkan kuliah di jurusan sejarah karena hobinya pada ilmu satu itu semenjak kecil. Tapi suatu hari, bersamaan dengan kedatangan surat penerimaannya di universitas tempatnya mendaftar, datang pula sebuah amplop yang ternyata berasal dari ayahnya yang belum pernah ditemuinya (atau sudah pernah, tapi tak diingatnya). Karena ingin menemuinya, akhirnya si Aku meninggalkan ibunya untuk pergi ke tempat ayahnya tinggal di kota S. Di sana, dia bertemu dengan orang-orang yang tak pernah dikenalnya, bersamaan dengan kejadian-kejadian aneh yang mulai terjadi di sekitarnya.

Sarat muatan (tokoh) filsafat, seperti Sartre, Nietzsche, dll. Ada banyak tokoh terkenal yang karyanya dipreteli dan dimaknai di dalam novel ini, meskipun mungkin membuat novel ini jadi terkesan sebagai filsafat yang dinovelkan, bukan novel yang difilsafatkan, dengan banyaknya quote-quote tokoh terkenal yang dimasukkan dan penjelasan-penjelasan yang (bagi saya) terkesan menggurui (atau sekadar menunjukkan bahwa yes, I've read all those books and listen all those songs I quoted while you don't). Juga ada berbagai macam simbolisasi yang, kalau bisa dimengerti, menjadi cues-cues kecil dari novel ini (terutama mas koki. Splendid!).

Sayangnya, ada satu hal utama yang menghalangi saya untuk menikmati buku ini secara utuh, yaitu tokoh utamanya. Mungkin ini masalah selera, atau mungkin karena saya terlalu terbiasa. Jika saya membaca novel dengan genre sejenis, entah itu Murakami, Kafka, atau Gaarder, saya selalu menemukan tokoh utamanya sebagai seseorang yang 'blank', alias hampa total. Tokoh utamanya benar-benar kosong dari prasangka ataupun penilaian macam apa pun terhadap dunia, kecuali observasi murni. Pun jika ada penilaian atau paradigma yang diberikan, biasanya itu datang dari pihak eksternal.

Saya, jujur saja, lebih nyaman membaca novel surreal/filosofis dengan tokoh macam itu. Bagi saya inti utama dari filosofi adalah dengan membiarkan semua hal menjadi dapat dipertanyakan (dan bukankah Sobron juga menyatakan demikian?). Jadi dalam novel dengan muatan filosofi (apalagi filsafat eksistensialis macam ini), bagi saya lebih pas jika karakter utamanya pun sudah disiapkan untuk berfilosofi. Dan yang membuat saya tidak menyukai tokoh utamanya adalah karena dia 'tidak siap berfilosofi'. Dia tidak benar-benar kosong (walau sepertinya diniatkan sebagai tokoh kosong) karena sejak awal dia sudah mempunyai sudut pandang tersendiri terhadap banyak hal (contohnya, terhadap orang-orang yang tidak mempertanyakan sejarah, terhadap rumah sakit jiwa, dll).

Kedua, tokoh Aku ini seorang pembaca buku. Ini murni selera pribadi, karena, aduh, saya sudah bosan sekali dengan formula pemikir ulung/perenung/filsuf yang adalah pembaca buku yang hobi mengurung diri di dalam rumah. Traveller juga bisa menjadi pemikir, penulis bisa jadi pemikir, pelacur juga bisa! (heck, bahkan Wittgenstein saja yang orang saklek matematika juga jadi filsuf/pemikir, bahkan disebutkan di dalam novel) Jangan salah, saya sendiri seorang kutu buku yang hobi mengurung diri di kamar untuk membaca, tapi yah, lagi-lagi ini masalah selera, karena buat saya formula filsuf/pemikir=kutu buku is kinda outdated for me. :/

Tapi saya akui, menulis novel filsafat, terutama eksistensialisme, itu susah. Jadi, tiga bintang untuk pencapaiannya. :D