A review by antariksach
Tujuh Hari untuk Keshia by Inggrid Sonya

4.0

1) Wow, ada twist-nya di tengah-tengah. Meskipun mendadak banget dan rasanya agak maksa (di kepala saya yang memang nggak tahu apa-apa soal buku ini sebelum mulai baca), setidaknya elemen magical-nya cukup dikasih perlogikaan (??) yang jelas sampai akhir cerita.

2) Meskipun bacanya di Play Book, saya tahu buku ini tebalnya kayak apa. Dan setelah membaca sambil mengamati pembabakan cerita dari jumlah halamannya, saya rasa cerita dalam buku ini terbagi jadi dua bagian: latar belakang dan isi. Kisah "tujuh hari untuk Keshia" yang jadi judul buku (dan merupakan inti buku ini) baru dimulai setelah jalan setengah buku. Sebelum itu, selama hampir dua ratus halaman, yang diceritakan adalah "latar belakang" dari semua yang terjadi selama babak "tujuh hari". "Latar belakang" itu termasuk alasan Keshia harus tinggal sama Sadewa, kisah keluarga River yang cukup bikin saya ??? karena begitu dramatis dan rumit, kisah Sadewa, dan lain sebagainya. Babak baru atau babak "tujuh hari" baru dimulai ketika *********** (disensor), dan setelah itu alur cerita jadi bergerak lebih cepat. Mungkin kalau dibuat grafik, kurvanya agak datar sambil pelan-pelan naik di awal, dan mulai dari tengah sampai akhir barulah terus naik menuju puncak seperti AFI lalu menurun. Yha ini pemahaman saya yang rumit atas buku ini tapi cukup membantu saya melogika kenapa buku ini sangat tebal.

3) Hubungan Keshia dan River rasanya tanggung. Saya mengerti sih mereka sengaja dibuat kayak begitu sampai akhir, tapi itu membuat kisah River terasa seperti "numpang doang" di cerita yang bisa saja difokuskan sebagai kisah anak dan ayah antara Keshia dan Sadewa tanpa ada River-rivernya. Dengan kata lain, saya nggak nangkep chemistry-nya Keshia dan River dan itu membuat ending cerita ini terasa aneh. Harusnya di babak "latar belakang", interaksi mereka diperbanyak lagi tanpa membuat Keshia baper (karena kalau Keshia baper, keseluruhan cerita bakal ikut berubah).

4) Di awal cerita, penjabaran emosi dengan diksi yang angsty terasa maksa karena saya nggak tahu konteksnya apa tapi belom-belom udah diajak sedih. Tapi makin ke belakang, begitu penderitaan dan kesedihan para tokoh diuraikan, konteksnya jadi lebih jelas dan penjabaran emosinya bisa membuat saya lebih bersimpati. Also, diksi Inggrid luar biasa meskipun saya merasa ada jomplangnya. Inggrid lebih luwes ketika menulis diksi yang puitis dan agak tersendat-sendat ketika menulis diksi yang naratif (saya menemukan cukup banyak pengulangan kata dan kata-kata mubazir di teks-teks yang sifatnya naratif, tapi di teks yang puitis lancar-lancar aja).

5) Suasana ceritanya dapet. Latarnya nggak detail-detail banget tapi begini aja rasanya udah sangat hidup, lokal, dan mungkin relateable bagi warga setempat (maksudnya orang-orang yang juga tinggal di Jakarta dan sekitarnya).

6) Saya sangat mengapresiasi upaya Inggrid untuk menulis kisah remaja dengan pembawaan yang sangat sangat sangat emosional dan melankolis seperti ini, dan poin ini aja sudah cukup untuk bikin saya ngasih bintang yang cukup banyak untuk buku ini. Siapa saja mungkin bisa menulis kisah ayah dan anak berbumbu magical realism seperti Tujuh Hari untuk Keshia, tapi nggak semua orang bisa menuliskan kisah itu dengan pendalaman emosi sekuat dan seintens yang dilakukan Inggrid. Dan saya sudah baca cukup banyak novel remaja untuk tahu novel remaja lokal kita sering banget lacking emotional depth karena masih banyak narasi "novel remaja harus ringan dan mudah dipahami". Tujuh Hari untuk Keshia dengan segala kelemahan dan keunggulannya turut menyumbangkan warna yang berbeda (hitam dan kelam mungkin seperti kovernya) yang memperkaya koleksi novel remaja Indonesia, dan saya sangat menghargai itu. Mari perbanyak novel remaja yang gelap dan berat supaya remaja-remaja kita punya koleksi bacaan yang luas sesuai dengan umur mereka tanpa harus lari-lari dulu ke novel dewasa!