A review by awallhidayat
99 Cahaya di Langit Eropa: Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa by Rangga Almahendra, Hanum Salsabiela Rais

4.0

Pengalaman Hanum sebagai jurnalis membuat novel perjalanan sekaligus sejarah ini mengalir lincah dan indah. Kehidupannya di luar negeri dan interaksinya dengan realitas sekularisme membuatnya mampu bertutur dan berpikir ‘out of the box’ tanpa mengurangi esensi Islam sebagai rahmatan lil alamin. – Najwa Shihab (Jurnalis dan Host Program Mata Najwa Metro TV)

***

Sebenarnya, saya tertarik membaca 99 Cahaya di Langit Eropa setelah melihat trailer filmnya. Membaca sebelum menonton film yang diadaptasi dari novel adalah ritual wajib, menurut saya. Saya senang dengan penggalan adegan yang dipertontonkan melalui trailer dan saya mulai berpikir untuk memburu bukunya. Pada akhirnya, saya hanya membaca lewat perpanjangan waktu pinjaman teman dari perpustakaan komunitas.

Buku Hanum dan Rangga memang menceritakan jejak peradaban Islam yang pernah bertahta di benua biru, Europe. Dalam prolognya, diajak flashback tentang Kemal Mustafa yang gagal menaklukkan Austria dengan caranya yang salah. Ditutup dengan epilog, Hanum merenungi perjalanannya menjelajahi bekas dinasti Islam Eropa sebelum ditenggelamkan masa Renaissance.

Sebelum membaca buku ini, saya sudah terlanjur ingin “berkunjung” ke Austria dan negeri permai lainnya di buku ini, Prancis, Spanyol, Turki. Di Austria, saya ingin menapakkan kaki ke tanah asal musik klasik. Saya ingin menjadi penonton opera Wina, saya ingin melihat kuburan Mozart. Di Prancis, apa lagi yang tidak mengundang liur traveller selain mendatangi Eiffel, Louvre, Arc de Triomphe. Di Spanyol, mungkin saya ingin menonton pergulatan matador dengan banteng atau duduk di salah satu sudut Santiago Bernabéu. Di Turki, saya ingin berlayar di atas selat Bosphorus yang membelah Istanbul dan Ankara di atas benua yang berbeda.

Tidak lagi. Saya dibuat kaget dengan narasi indah mengejutkan yang dituturkan Hanum lewat buku ini. Saya tahu Wina punya banyak museum kuno, saya hanya tidak tahu kalau banyak museumnya menjadi penanda Kesultanan Ottoman Turki pernah berpengaruh. Saya tahu Paris punya Louvre dengan Monalisa karya Da Vinci, saya hanya tidak tahu Louvre menyimpan banyak lukisan Bunda Maria dan Yesus dengan kaligrafi Semi-Kufic berlafadz Allah-nya. Saya tahu Spanyol dulunya Andalusia, saya hanya tidak tahu Andalusia ternyata menjadi prototipe Paris untuk menjadi the city of lights. Dan saya tahu Turki berada di dua benua, saya hanya tidak tahu perpindahan istana sultan dari tanah Eropa ke tanah Asia menjadi waktu runtuhnya Ottoman, menjadi sekularisasi.

Sama seperti Hanum selama perjalanannya di Eropa, saya ikut merasa sakit, sedih, senang, kagum, bangga, marah selama membaca. Sakit mengetahui Islam yang sudah sangat redup di beberapa tempat yang dulunya adalah pusat peradaban Islam, sebut saja Granada. Sedih mengetahui bekas mesjid agung Mezquita di Cordoba yang disulap menjadi katedral besar. Senang mengetahui Averroes menjadi ilmuwan berjasa untuk dunia, bahkan hingga sekarang. Kagum dengan Napoleon Bonaparte yang ternyata membuat bangunan sekelas Arc de Triomphe, Obelisk, Louvre berada di garis horizontal yang berkiblat kakbah. Bangga dengan Sultan Al Rahman merukunkan Islam, Yahudi, Kristen dalam keberagaman agama di Cordoba. Marah dengan Kemal Mustafa Kara yang menjadi “pembunuh” untuk memperluas wilayah kekuasaan kesultanan Islam.

Hanum, seorang jurnalis memiliki kosakata yang cukup ringan untuk disisipkan dalam buku yang entah travelogue atau buku sejarah atau keduanya ini. Dia tahu mendeskripsikan setiap tempat yang dia kunjungi dengan jelas. Sayangnya, Hanum tidak punya cukup fakta yang kuat untuk membuktikan setiap ceritanya. Hanya dari Fatma, dari Marion, dari Sergio. Bukan bermaksud tidak percaya, hanya saja itu masih belum cukup dan terkesan terlalu subyektif, menurut saya. Meskipun, jejak kronologis cukup membantu untuk merunutkan setiap peristiwa. Denah untuk setiap kota yang dihadirkan juga memberikan kesan pelengkap yang “it works”.

***

“Tentang kopi kesukaanmu, cappucino, kopi itu bukan dari italia. Aslinya berasal dari biji-biji kopi Turki yang tertinggal di medan perang di Kahlenberg. Hanya sebuah info pengetahuan kecil-kecilan. Assalamu’alaikum” — Fatma, 99 Cahaya di Langit Eropa hal. 50” Aha! Selama ini saya minum kopi yang (sebenarnya) milik muslim.