A review by sapiensblud
Ronggeng Dukuh Paruk, by Ahmad Tohari

5.0

Dukuh Paruk is a victims of political strife in transition to a “new elite power”. Pada masa orde lama, PKI mencapai puncak keemasannya. Mereka para komunis ingin memperjuangkan hak rakyat dan yang dalam cerita ini, Bakar merupakan sumber utama yang melibatkan Dukuh Paruk tenggelam dalam suasana perang dingin politik dengan memanfaatkan kesenian ronggeng dalam propagandanya untuk menarik simpatisan orasi komunis. Nahas, kehancuran komunis dalam tuduhannya yang melakukan G30S membawa pedukuhan kecil itu ke jurang kehancuran pula.
Well, perhatianku di sini selalu terpaku sama manusia di Dukuh Paruk dan pola hidupnya. Di kehidupannya, mereka gak mengenal tulisan apalagi kenal sama partai-partai yang marak pada saat orde lama yang bikin beberapa diantara mereka terlibat aksi 1965 dan dipenjara. Orang pedukuhan itu hidup dan survive dengan caranya sendiri, meski penuh dengan kebodohan, kemelaratan, cabul dan nilai abstraknya tentang kehidupan yang harus “terima apa adanya”.
Buku ini menyinggung tentang kekisruhan sejarah dan kecongkakannya di atas hidup manusia, kesenjangan sosial yang transparan, patriarki, dan feminisme. Aspeknya sangat dekat sama kehidupan kita sehari-hari, hebatnya Tohari berhasil meringkas hal itu dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Diksinya indah, bener-bener indah! Nyaman dibaca meski harus bolak-balik KBBI. Mungkin udah jadi ciri khas tertentu buat Ahmad Tohari deskripsiin apa yang ada di sekitar cerita serta suasananya. Agak membosankan, tapi aku tetep enjoy karena deskripsi yang diutarakan justru menjadi titik temu masalah demi masalah. Dan juga, dari deskripsinya kita bisa ikut merasakan gimana kentalnya adat Jawa tahun 1960-an. Jujur, awalnya agak kaget karena Tohari bener-bener sering nulis “Asu buntung” sebagai ciri khas ucapan di pedukuhan... but it’s ok, i still luv this book