Scan barcode
A review by perpeitually
Lusifer! Lusifer! by Venerdi Handoyo
5.0
Saya menulis ulasan ini dengan segala ironi yang bisa saya temukan. Sebagai seorang warga gereja (dan rutin bergereja), saya dapat dengan mudah memahami segala pelik yang digambarkan buku ini. [a:Venerdi Handoyo|19122925|Venerdi Handoyo|https://images.gr-assets.com/authors/1566668007p2/19122925.jpg], (menurut catatan penulis yang tertera di akhir buku) memulai karirnya sebagai penulis di buletin gereja, mungkin dari masa-masa inilah ide tentang buku ini hadir. Kemungkinan, ia pernah merasakan perasaan dan ironi yang ia ceritakan dalam karyanya ini (tak ada yang tahu, hanya opini pribadi).
[ I am writing this review with all the irony that I can muster. As a churchgoer (and a regular one at that), I can easily understand all the complexities depicted in this book. Venerdi Handoyo (as noted by the author in the book's endnotes) began his career as a writer for the church bulletin, and perhaps it was during this time that the idea for this book came about. It's possible that he has experienced the feelings and irony that he portrays in his work (no one knows for sure, only personal opinions).]
[b:Lusifer! Lusifer!|51592072|Lusifer! Lusifer!|Venerdi Handoyo|https://i.gr-assets.com/images/S/compressed.photo.goodreads.com/books/1565711180l/51592072._SX50_SY75_.jpg|72891407] bagi saya pribadi adalah sebuah satir terhadap umat Kristiani, terlebih yang merasa cukup rohani dan sudah "memiliki sepetak tanah di kerajaan sorga". Ceritanya memproyeksikan kesombongan rohani para aktivis gereja yang merasa telah sangat dekat dengan Tuhan. Kemunafikan yang terjadi dalam gereja Kristus Efesia Jakarta mungkin hanya fiksi, tapi bisa jadi pernah/sedang/akan terjadi dalam manifestasi yang lain di tubuh gereja-gereja masa kini. Terdapat sindiran keras yang dilontarkan dalam buku ini terhadap kehidupan para jemaat Kristus Efesia Jakarta, dimana karunia roh sudah jadi seperti barang murahan dan ajang pamer sapa yang paling kudus di antara yang lain. Tingkah mereka, tanpa sadar sudah sama persis dengan para Ahli Taurat dan Orang Farisi pada zaman Yesus hidup, hanya menuhankan ritual keagamaan tanpa mendasarinya bagi Kristus itu sendiri. Karunia rohani jadi seperti barang murahan dan ajang pamer siapa yang paling kudus di antara yang lain.
[ For me, Lusifer! Lusifer! is a satire of Christians, especially those who feel spiritually sufficient and already "have a plot of land in the kingdom of heaven". The story projects the spiritual arrogance of church activists who feel they are very close to God. The hypocrisy that occurs in the Kristus Efesia Jakarta church may be fiction, but it could also have happened or be happening in other manifestations within today's churches. There are harsh criticisms in this book directed towards the lives of the congregation of Kristus Efesia Jakarta, where the gifts of the Holy Spirit have become like cheap goods and a showcase of who is the holiest among them. Their behavior is unwittingly identical to that of the Torah scholars and the Pharisees during the time when Jesus lived, who only worshipped religious rituals without understanding its meaning for Christ himself. The gifts of the Holy Spirit have become like cheap goods and a showcase of who is the holiest among them.]
Markus Yonatan, yang dari lensanya kita melihat segala peristiwa yang ada, berada di antara banyak sekali pertanyaan iman yang herannya tak dapat dijawab oleh orang-orang di sekitarnya yang mengklaim diri sungguh dekat dengan Tuhan. Lingkungan gereja yang sejatinya dibangun untuk saling menguatkan dan membantu dalam iman, ternyata hanya menjadi ladang mencari uang semata dan pamer siapa yang paling rohani. Lingkungan tanpa kasih agape yang akhirnya membuat Markus Yonatan bingung sendirian.
[ Markus Yonatan, through whose perspective we witness all the events, is surrounded by countless questions of faith that are surprisingly unanswered by those around him who claim to be very close to God. The church environment, which is supposed to be built for mutual support and assistance in faith, has become only a place for making money and showcasing who is the most spiritual. The environment lacks God's true love, which ultimately makes Markus Yonatan confused and alone.]
Mawarsaron dan Singa Yahudi, korban dari kebutaan rohani kedua orang tua mereka yang memilih untuk mengokohkan bahtera iman orang lain dan tak memberikan telinga dan hati yang cukup untuk anak mereka sendiri. Bingung dan tersesat, kedua anak ini mengambil tindakan dari pandangan mereka sendiri tentang iman dan Kekristenan. Sayangnya, tak ada pandangan dari kedua tokoh ini yang dengan eksplisit dijelaskan, hanya samar-samar dan juga tidak penjelasan yang lain (yang lebih kuat) mengenai mengapa mereka melakukan hal-hal "berdosa" yang diceritakan dalam buku. Terlebih tokoh Mawarsaron yang masih di bawah umur tapi digambarkan dengan begitu vulgar untuk anak di bawah umur, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengapa ia "sebegitunya".
[ Mawarsaron and Singa Yehuda are victims of the spiritual blindness of their parents who choose to solidify the faith of others and do not give enough attention to their own children. Confused and lost, both of these children take action based on their own views of faith and Christianity. Unfortunately, there is no explicit explanation of their perspectives in the book, only vague and weak descriptions of why they commit "sinful" acts. Moreover, the character of Mawarsaron, who is still a minor but depicted so vulgarly for someone of her age, has no further explanation of why she is "so much like that".]
Tak ada penyesalan bagi saya dalam membaca buku ini, bahkan menjadi buku ini menjadi kesukaan saya sepanjang tahun 2021. Penggambarannya yang sederhana, dapat dimengerti siapapun (menurut saya) bahkan bagi yang bukan penganut Kekristenan.
[ I have no regrets reading this book, and it has become my favorite book throughout 2021. Its simple depiction can be understood by anyone (in my opinion), even those who are not followers of Christianity.]
[ I am writing this review with all the irony that I can muster. As a churchgoer (and a regular one at that), I can easily understand all the complexities depicted in this book. Venerdi Handoyo (as noted by the author in the book's endnotes) began his career as a writer for the church bulletin, and perhaps it was during this time that the idea for this book came about. It's possible that he has experienced the feelings and irony that he portrays in his work (no one knows for sure, only personal opinions).]
[b:Lusifer! Lusifer!|51592072|Lusifer! Lusifer!|Venerdi Handoyo|https://i.gr-assets.com/images/S/compressed.photo.goodreads.com/books/1565711180l/51592072._SX50_SY75_.jpg|72891407] bagi saya pribadi adalah sebuah satir terhadap umat Kristiani, terlebih yang merasa cukup rohani dan sudah "memiliki sepetak tanah di kerajaan sorga". Ceritanya memproyeksikan kesombongan rohani para aktivis gereja yang merasa telah sangat dekat dengan Tuhan. Kemunafikan yang terjadi dalam gereja Kristus Efesia Jakarta mungkin hanya fiksi, tapi bisa jadi pernah/sedang/akan terjadi dalam manifestasi yang lain di tubuh gereja-gereja masa kini. Terdapat sindiran keras yang dilontarkan dalam buku ini terhadap kehidupan para jemaat Kristus Efesia Jakarta, dimana karunia roh sudah jadi seperti barang murahan dan ajang pamer sapa yang paling kudus di antara yang lain. Tingkah mereka, tanpa sadar sudah sama persis dengan para Ahli Taurat dan Orang Farisi pada zaman Yesus hidup, hanya menuhankan ritual keagamaan tanpa mendasarinya bagi Kristus itu sendiri. Karunia rohani jadi seperti barang murahan dan ajang pamer siapa yang paling kudus di antara yang lain.
[ For me, Lusifer! Lusifer! is a satire of Christians, especially those who feel spiritually sufficient and already "have a plot of land in the kingdom of heaven". The story projects the spiritual arrogance of church activists who feel they are very close to God. The hypocrisy that occurs in the Kristus Efesia Jakarta church may be fiction, but it could also have happened or be happening in other manifestations within today's churches. There are harsh criticisms in this book directed towards the lives of the congregation of Kristus Efesia Jakarta, where the gifts of the Holy Spirit have become like cheap goods and a showcase of who is the holiest among them. Their behavior is unwittingly identical to that of the Torah scholars and the Pharisees during the time when Jesus lived, who only worshipped religious rituals without understanding its meaning for Christ himself. The gifts of the Holy Spirit have become like cheap goods and a showcase of who is the holiest among them.]
Markus Yonatan, yang dari lensanya kita melihat segala peristiwa yang ada, berada di antara banyak sekali pertanyaan iman yang herannya tak dapat dijawab oleh orang-orang di sekitarnya yang mengklaim diri sungguh dekat dengan Tuhan. Lingkungan gereja yang sejatinya dibangun untuk saling menguatkan dan membantu dalam iman, ternyata hanya menjadi ladang mencari uang semata dan pamer siapa yang paling rohani. Lingkungan tanpa kasih agape yang akhirnya membuat Markus Yonatan bingung sendirian.
[ Markus Yonatan, through whose perspective we witness all the events, is surrounded by countless questions of faith that are surprisingly unanswered by those around him who claim to be very close to God. The church environment, which is supposed to be built for mutual support and assistance in faith, has become only a place for making money and showcasing who is the most spiritual. The environment lacks God's true love, which ultimately makes Markus Yonatan confused and alone.]
Mawarsaron dan Singa Yahudi, korban dari kebutaan rohani kedua orang tua mereka yang memilih untuk mengokohkan bahtera iman orang lain dan tak memberikan telinga dan hati yang cukup untuk anak mereka sendiri. Bingung dan tersesat, kedua anak ini mengambil tindakan dari pandangan mereka sendiri tentang iman dan Kekristenan. Sayangnya, tak ada pandangan dari kedua tokoh ini yang dengan eksplisit dijelaskan, hanya samar-samar dan juga tidak penjelasan yang lain (yang lebih kuat) mengenai mengapa mereka melakukan hal-hal "berdosa" yang diceritakan dalam buku. Terlebih tokoh Mawarsaron yang masih di bawah umur tapi digambarkan dengan begitu vulgar untuk anak di bawah umur, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengapa ia "sebegitunya".
[ Mawarsaron and Singa Yehuda are victims of the spiritual blindness of their parents who choose to solidify the faith of others and do not give enough attention to their own children. Confused and lost, both of these children take action based on their own views of faith and Christianity. Unfortunately, there is no explicit explanation of their perspectives in the book, only vague and weak descriptions of why they commit "sinful" acts. Moreover, the character of Mawarsaron, who is still a minor but depicted so vulgarly for someone of her age, has no further explanation of why she is "so much like that".]
Tak ada penyesalan bagi saya dalam membaca buku ini, bahkan menjadi buku ini menjadi kesukaan saya sepanjang tahun 2021. Penggambarannya yang sederhana, dapat dimengerti siapapun (menurut saya) bahkan bagi yang bukan penganut Kekristenan.
[ I have no regrets reading this book, and it has become my favorite book throughout 2021. Its simple depiction can be understood by anyone (in my opinion), even those who are not followers of Christianity.]
"Apa menurut Kak SY terlalu sibuk melayani Tuhan juga tidak baik?" [ "What does Kak SY think, is it also not good to be too busy serving God?"]
"Kalau segala kesibukan itu tidak mengandung kebenaran, gagal memberikan rasa damai sejahtera, dan tidak menumbuhkan sukacita, maka Kerajaan Allah masih jauh dari kita." [ "If all the busyness does not contain truth, fail to provide a sense of peace, and do not grow joy, then the Kingdom of God is still far from us."]
— Percakapan antara Markus Yonatan dan Singa Yehuda [ Conversation between Markus Yonatan and Singa Yehuda]