A review by pasarmalam
Seratus Tahun Kesunyian by Gabriel García Márquez

4.0

"(...) dan bahwa apa pun yang mereka ingat tentang masa lalu adalah dusta, bahwa kenangan takkan berulang, bahwa semua musim semi berlalu tanpa bisa diraih kembali, dan bahwa cinta paling liar dan paling gigih pun pada akhirnya tak pernah kekal."



Seratus tahun kesunyian? Kenapa kesunyian? Apanya yang sunyi? Padahal kalau dipandang sekilas, kisah di buku ini mencolok sekali, berwarna-warni, kayak kupu-kupu kuning yang memenuhi kamar mandi dan hujan bunga yang membanjiri jalan. Saya jadi inget lirik yang pernah ditulis RM, "Kenapa nggak ada antonim dari kata 'kesepian'? Mungkin karena sampai mati pun setiap momen hidup kita nggak pernah lepas dari rasa sepi itu." Menurut saya, untuk sepenuhnya memahami 'seratus tahun kesunyian' kita emang mau nggak mau disuruh membaca buku ini sampai tuntas. Dan saya akui, memang bukan pekerjaan mudah. Saya sendiri nggak nyangka udah menghabiskan tiga bulan penuh untuk menyelesaikan buku ini (dengan reading-slump cukup parah di pertengahan).

Buku ini cukup berat dan bener-bener bukan untuk semua orang, tergantung kamu suka tipe cerita yang puaannjanggg bertele-tele apa nggak. Saya sering lihat orang-orang yang langsung ngeluh pas buka halaman pertama karena disuguhi paragraf super panjang yang kayak nggak ada habisnya. Narasi di sini memakai gaya stream-of-consciousness yang sudut pandangnya lompat-lompat dari satu tokoh ke tokoh lain, mana tokohnya banyak banget lagi! Udah gitu namanya mirip-mirip! (udah bukan mirip kayaknya, persis). Kamu bakal menemui banyak Aureliano dan Jose Arcadio di sini, maka dari itu peran pohon keluarga yang digambar sebelum halaman pertama jadi penting banget, nggak usah sungkan buat ngintip-ngintip balik ke pohon keluarga Buendia sesekali karena, serius, kita semua juga sempat dibikin bingung kok. Dialognya juga dikit banget, sekalinya ada dialog nih kalau nggak bikin ketawa ya bikin hati kayak dicubit (haha). Kalau untuk terjemahan versi GPU ini menurut saya bagus banget, gampang diikuti dan pemilihan katanya pas (kadang beneran cantik banget saya sampai berkaca-kaca T__T ).

Inti cerita berfokus pada satu keluarga di sebuah desa terpencil, tapi dramanya terus menurun dari generasi ke generasi. Kalau kamu bukan tipe yang suka baca paragraf panjang bertele-tele, mungkin lebih baik nggak perlu memaksakan diri. Tapi, menurut saya, gaya bercerita Gabriel Garcia Marquez di sini justru yang bikin ceritanya semakin hidup dan indah. Sekalinya kamu mulai invested ke cerita, jadi susah banget mau berhenti baca. Beberapa poin yang saya kurang suka dari buku ini adalah (content warning), bagian-bagian yang menjelaskan konten eksplisit, rape, incest, bahkan pedofilia. Udah coba mengabaikan mereka tapi ya tetep aja menganggu, apalagi beberapa memainkan peran cukup penting dalam cerita. Kalau kamu nggak nyaman sama konten-konten di atas, hati-hati ya bacanya!

Di samping itu, saya rasa buku ini cantik sekaligus melankolis. Saya suka gimana aspek magical realism di sini melebur sama ingatan, kenangan, kisah-kisah, dan pesan yang ingin disampaikan penulis. Beberapa waktu lalu saya baca-baca tentang definisi magical realism, dan saya setuju kalau nggak semua buku yang bertemakan 'hal-hal magis yang dianggap biasa dalam latar realistis' bisa sekenanya disebut magical realism. Aliran ini penting banget bagi sastra Amerika Latin, dan presensi poin-poin yang mengangkat kolonialisme, politik, dan sosial-budaya masyarakat dalam cerita jadi penting banget untuk buku-buku bergenre magical realism. Isu-isu itu diolah begitu apik dalam buku ini, bersanding sama kultur, mitos, dan folklore yang udah jadi bagian penting juga dalam kehidupan masyarakat.

Seenggaknya, sekali aja seumur hidup, kamu harus coba baca One Hundred Years of Solitude.