Scan barcode
A review by perpeitually
Midah Simanis Bergigi Emas by Pramoedya Ananta Toer
4.0
Judul (Tahun Terbit): Midah Simanis Bergigi Emas (1954)
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Edisi: Cetakan Ke-4, November 2009
Buku Pramoedya Ananta Toer sudah terkenal langka karena pencetakannya yang minim, sehingga ketika buku dijual oleh penjual buku langganan saya melalui Grup WhatsApp, saya buru-buru "mengamankan"-nya. Perasaan untuk melahap banyak buku Pramoedya Ananta Toer telah menjadi kebiasaan saya beberapa bulan belakangan karena merasa tertinggal akan kemahiran Beliau meramu buku yang memotret sejarah Indonesia.
Tapi membaca Midah Simanis Bergigi Emas memberikan sebuah perspektif yang berbeda, latar belakang waktunya sudah memasuki Jakarta di masa modern dan Indonesia sudah terbebas dari penjajah. Pramoedya memotret kehidupan seorang perempuan muda bernama Midah, yang senyumnya manis dan membuat lawan jenis langsung salah tingkah. Midah yang dibesarkan dalam sebuah keluarga taat agama, menghabiskan masa kecilnya sebagai anak tunggal paling disayang sang Ayah. Kemudian perhatian kedua orangtuanya mulai dirampas oleh kelahiran adik-adiknya. Sendiri, kehilangan, dan kesepian, membuat Midah melangkahkan kakinya untuk mengamati grup keroncong jalanan dan jatuh hati pada musik keroncong yang sangat diharamkan di dalam rumahnya.
Midah yang sudah akhil balig kemudian dinikahkan dengan seorang pembesar kaya di kampung ayahnya, namun ia lari dari rumah suaminya dengan keadaan sedang hamil ketika tahu bahwa ia bukan satu-satunya istri yang pria itu miliki. Terlunta di jalanan Jakarta yang kejam, Midah berpegang teguh pada cintanya pada sang calon bayi untuk bertahan hidup dan memperjuangkan kehormatannya.
Perjalanan Midah ini sungguh membuat perih hati dan merinding badan. Untuk saya, membaca cerita dimana seorang perempuan diceritakan mengalami pelecehan seksual atau diancam untuk melakukan hubungan badan tanpa konsen sungguh adalah adegan horror. Kendati buku ini tidak secara gamblang melukiskan kesialan yang terjadi pada Midah, namun lebih menyorot bagaimana ia terus berusaha keras untuk menjaga dirinya dan calon bayinya dari para lelaki tak bertanggung jawab. Buku ini memberikan fakta mengiris hati bagaimana seorang perempuan sangat tidak dihargai di lingkungannya dan terus-terusan diancam keadaannya. Midah tidak pernah merasa aman, begitu pun perempuan di masa sekarang ini.
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Edisi: Cetakan Ke-4, November 2009
Buku Pramoedya Ananta Toer sudah terkenal langka karena pencetakannya yang minim, sehingga ketika buku dijual oleh penjual buku langganan saya melalui Grup WhatsApp, saya buru-buru "mengamankan"-nya. Perasaan untuk melahap banyak buku Pramoedya Ananta Toer telah menjadi kebiasaan saya beberapa bulan belakangan karena merasa tertinggal akan kemahiran Beliau meramu buku yang memotret sejarah Indonesia.
Tapi membaca Midah Simanis Bergigi Emas memberikan sebuah perspektif yang berbeda, latar belakang waktunya sudah memasuki Jakarta di masa modern dan Indonesia sudah terbebas dari penjajah. Pramoedya memotret kehidupan seorang perempuan muda bernama Midah, yang senyumnya manis dan membuat lawan jenis langsung salah tingkah. Midah yang dibesarkan dalam sebuah keluarga taat agama, menghabiskan masa kecilnya sebagai anak tunggal paling disayang sang Ayah. Kemudian perhatian kedua orangtuanya mulai dirampas oleh kelahiran adik-adiknya. Sendiri, kehilangan, dan kesepian, membuat Midah melangkahkan kakinya untuk mengamati grup keroncong jalanan dan jatuh hati pada musik keroncong yang sangat diharamkan di dalam rumahnya.
Midah yang sudah akhil balig kemudian dinikahkan dengan seorang pembesar kaya di kampung ayahnya, namun ia lari dari rumah suaminya dengan keadaan sedang hamil ketika tahu bahwa ia bukan satu-satunya istri yang pria itu miliki. Terlunta di jalanan Jakarta yang kejam, Midah berpegang teguh pada cintanya pada sang calon bayi untuk bertahan hidup dan memperjuangkan kehormatannya.
Perjalanan Midah ini sungguh membuat perih hati dan merinding badan. Untuk saya, membaca cerita dimana seorang perempuan diceritakan mengalami pelecehan seksual atau diancam untuk melakukan hubungan badan tanpa konsen sungguh adalah adegan horror. Kendati buku ini tidak secara gamblang melukiskan kesialan yang terjadi pada Midah, namun lebih menyorot bagaimana ia terus berusaha keras untuk menjaga dirinya dan calon bayinya dari para lelaki tak bertanggung jawab. Buku ini memberikan fakta mengiris hati bagaimana seorang perempuan sangat tidak dihargai di lingkungannya dan terus-terusan diancam keadaannya. Midah tidak pernah merasa aman, begitu pun perempuan di masa sekarang ini.