Reviews

Awan-Awan di Atas Kepala Kita by Miranda Malonka

parasihir's review against another edition

Go to review page

dark tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? No
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? Yes

2.0

Mungkin karena ekspektasiku tinggi setelah baca Surat-Surat yang Tak Pernah Dikirim dan suka banget, tapi ternyata buku yang ini enggak cocok buat aku. Mulai dari tokoh, plot, dan konfliknya yang berat tapi eksekusinya kurang. Aku jadi enggak bisa simpati ke tokoh-tokohnya. Apalagi pembahasan seperti; udah punya semuanya kok depresi? Kok mau bunuh diri?, yang bikin aku enggak nyaman sama sekali. It's putting me off. A major turn off

Expand filter menu Content Warnings

itzdiyann's review

Go to review page

4.0

Membaca buku ini jujur yaa lumayan capek, karena ngeliat isi kepala karakter-karakternya yang suicidal. Sebenernya untuk bagian awal cerita ini ya lumayan klise sih, tapi overall aku suka. Untuk isi bukunya yang ada bentuk kayak isi koran gitu ngebuat bukunya 'menarik'.

bookwormdaily's review against another edition

Go to review page

2.5

another disappointing reading. 
udah tertarik sama premisnya yg menarik dan cara penulisannya yang bagus dan deep tapi dikecewakan sama karakternya. aku bisa melihat sebenarnya karakter-karakter di buku ini jadi the main topic bahkan jadi important messagenya ke reader tapi entah mengapa hubungan antar karakter sama sekali nggak dapet dipercaya saking cepetnya pace mereka bertemu dan nggak dijelasin secara detail ttg kehidupan mereka. berasa cuman one dimensional character. ini yg bikin ceritanya jadi membosankan apalagi halamannya cukup banyak. 

nalracy's review

Go to review page

dark emotional hopeful inspiring lighthearted reflective tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? N/A
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.0

Dimulai dengan Ben, seseorang yang sudah tidak tahu lagi dimana dia bisa menemukan makna hidup, dia beranggapan hidup yang tidak mempunyai makna tidak pantas untuk dijalani yang kemudian termanifestasi menjadi sebuah rencana bunuh diri terjun dari jembatan ketika hari ulang tahunnya.

Rencana untuk mengakhiri hidup tersebut digagalkan oleh Kay, perempuan blasteran dengan bandana dan tas gitarnya yang tak pernah lepas dari badannya. Kay menarik Ben yang ingin menghempaskan diri ke sungai dibawah jembatan dengan keadaan dikerumuni oleh orang-orang yang tidak juga berkeinginan untuk menolong mereka.

Setelah drama di jembatan tersebut, berkali-kali bertemu dengan Kay membuat Ben mendapat beberapa sinyal untuk setidaknya memberi kesempatan pada hidup sekali lagi, untuk mencoba mencari sebuah alasan untuk hidup yang ternyata membawanya pada masalah yang lebih besar yang tidak ia lihat di mata dan aura Kay yang selalu terang benderang itu.

Ini buku kedua dari Miranda Malonka yang aku baca, kayaknya emang khas ya penulis yang satu ini, di buku Surat-surat yang tak pernah dikirim bahkan ada tokoh yang mati...

Tokohnya sakit-sakit semua, tapi sembuh diakhir cerita, cuman masih penasaran aja sama tokoh jahat di cerita ini, apa sebabnya dia jadi sejahat itu, sampai akhir ga diceritain.

Aku rasa POV ketiga cocok banget karena bisa lebih memahami ke dalam perasaan tiap-tiap tokoh. Pandangan sinis Ben tentang hidup juga sedikit-sedikit kumengerti.

Aku suka konsep koran Kay, cuaca dan bab baru dalam hidupnya. Aku juga suka tentang kegagalan yang seharusnya juga dirayakan, dan juga wacana tentang psikologi yang ada dibukunya.

Aku juga tertarik dengan pandangan Albert Camus yang menganggap kalo hidup nggak ada maknanya pun masih pantas untuk dijalani, mungkin kedepannya aku pengen baca buku beliau.

Overall menurutku bagus, aku suka tipe novel yang isinya gini, yang kek ringan kelihatannya eh ternyata gak begitu, banyak insight yang bisa diambil.

Ada beberapa quot yang sedikit menyentilku....

Kita semua jelas takut mati. Hanya saja kita terlalu sombong untuk menyadari bahwa kita bisa mati setiap saat. Semua orang pura-pura bisa hidup seribu tahun, saking takutnya pada kematian. Semua orang menjalani hidup tanpa rela mengakui bahwa mereka bisa mati detik ini juga. Fakta bahwa hidup ini sangat singkat, sementara orang kayaknya selalu buang-buang waktu, betul-betul di luar logika gue. p. 201

Kita selalu tahu apa yang diinginkan orang lain, tapi kita jarang banget tahu apa yang kita sendiri inginkan. p. 201

Maksud gue, kita nggak hidup di dunia mimpi. Hidup kita memang bukan film epik atau novel hebat: hidup kita payah, melelahkan, nggak ketebak, dan kayaknya sial melulu. Gue nggak bisa dapetin semua yang gue mau terlalu banyak keterbatasan yang menghalangi gue dari berbagai aspek. Aspek duit, aspek  geografis, aspek keluarga... daftarnya bisa berlanjut terus. Tapi itulah hidup. p. 85

Kita mungkin nggak bisa menyelamatkan semua orang asing yang lewat di jalan, tapi setidaknya kita sudah berusaha jadi orang baik untuk orang-orang di sekitar kita dan membuat hidup mereka jadi lebih baik. p. 43
Tapi memangnya berapa banyak orang di dunia ini yang rela diberitahu kebenaran tentang dirinya sendiri? Bukankah kebenaran, apalagi yang meresap dan terlupakan di alam bawah sadar, berubah jadi menakutkan ketika dipanggil naik ke alam pikiran yang sadar?
p. 39

shirasuki's review

Go to review page

emotional hopeful inspiring sad medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

"Jawaban untuk problema eksistensial kita bukanlah mencari-cari seribu satu alasan untuk tetap hidup, melainkan memilih tetap hidup meskipun ada seribu satu alasan untuk mati."

Kalimat ini benar-benar menjadi reminder untukku. Membaca buku ini setelah pernah mengalami hal yang sama sangat membuat perasaanku tidak karuan hhh. I still think about dying even today but like whats written in this story, I choose to live no matter how hard it is. 

The story is beautifully written and full of meaningful words.

aandahh's review

Go to review page

emotional mysterious reflective sad slow-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.0

goldenelegy's review against another edition

Go to review page

challenging dark emotional informative reflective sad fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? N/A
  • Flaws of characters a main focus? Yes

3.5

amandaanyza's review

Go to review page

dark emotional hopeful reflective fast-paced

3.5

ossyfirstan's review

Go to review page

4.0

Kumembaca ini beberapa hari setelah mendengar kabar-kabar duka beberapa mahasiswa bunuh diri dan gosip-gosip KDRT. Dan... Awan-awan membawa isu-isu itu.
Cerita dibuka dengan Ben yang ingin bunuh diri di ulang tahunnya yang ke-19. Entah mengapa, cerita ini memvalidasi apa yang kurasakan dulu, bahwa mungkin memang ada sebagian orang yang menjadikan makna hidup itu suatu masalah besar demi keberlanjutan hidup. Baca ini, jadi ingat, kalau di usia yang sama, kepalaku pun penuh mempertanyakan makna dan arti hidup. Pertanyaan sederhana,"Kenapa aku harus hidup?" yang terus kutanya sampai kini. Pertanyaan yang sampai sekarang aku ga punya jawabannya. Tapi seperti kata Budi Darma, yang meniadakan aku bukan aku, jadi aku nggak punya hak untuk meniadakan diriku sendiri.

Sayangnya, percobaan bunuh diri yang dilakukan Ben digagalkan Kay. Kay adalah gadis blasteran yang tinggal di rumah pohon bersama tantenya, dan telah ditinggal mamanya yang juga bunuh diri. Kai cemas sekali dengan Ben, meskipun Kian (sahabatnya yang lagi kuliah psikologi) udah menasehatinya kalau kita ga bisa bantu semua orang, Kay tetap cemas. Hingga akhirnya Kay kembali bertemu dengan Ben, dan singkatnya, Ben, Kay, dan Kian pun berteman.
selain isu soal Ben yang punya keinginan untuk bunuh diri terus, Kay juga ternyata memiliki masalah. Misalnya, masalah dengan dirinya lewat mimpi-mimpi buruk dan masalah dengan mantan pacarnya yang manipulatif dan beracun itu.

Aku suka membaca novel ini. Koran kehidupan buatan Kay menarik sekali. Aku juga suka dengan ide Kay soal merayakan hal-hal menyedihkan. Hal-hal menyedihkan memang sebaiknya dirayakan agar tidak larut dalam kesedihan. Demikianlah, kutunggu karya selanjutnya dari kaka penulis ^^

blackferrum's review

Go to review page

4.0

Harus kuakui, keputusan menamatkan buku ini nggak salah. Ben, Kay, bahkan Nat adalah orang-orang yang sakit. Itu fakta yang nggak bisa dihilangkan setelah baca ini. Iyap, aku stres banget waktu maksa namatin ini, tapi sama sekali nggak menyesal.

Mungkin bagi kalian yang baca blurb bukunya berpikir temanya berat banget, mana mention soal bunuh diri lagi. Oke, temanya emang berat. Perasaanku waktu baca ini bahkan memengaruhi sampai ke real life. Rasanya gloomy, mendung terus, uring-uringan, dan nggak tau mau ngapain saking lemasnya. Ben setelah diselamatkan Kay itu kelihatan hopeless banget. Dia ingin mengakhiri hidup karena merasa hidupnya nggak ada makna. Kok bisa, ya, padahal dia ganteng, pintar, kaya pula. Dia nggak punya tekanan apa pun, apalagi soal ekonomi. Kenapa harus pilih mengakhiri hidup? Nah, di sini ceritanya berjalan.

Kay menolong Ben. Dia sampai rela nyariin Ben setelah penyelamatannya di jembatan itu. Apakah Ben langsung menerima? Oh enggak, bahkan Ben agak terganggu kenapa ada orang asing yang sampai mohon2 ke dia buat nggak mengakhiri hidup. Ben kukuh nggak bisa menerima Kay (eksistensi atau perhatiannya), tapi dia jadi penasaran. Kay aneh, merayakan pesta untuk suatu kegagalan. Bukannya pesta identik dengan selebrasi pencapaian baik dan kesuksesan, ya? Di sini titik balik kehidupan Ben. Hidupnya 180 derajat berubah. Dia masih sangsi hidupnya bisa dipertahankan, bahkan masih percaya hidupnya cuma sampai usia 50 tahun. Pemikiran mending-akhiri-sekarang-daripada-nunggu-nanti pun berubah perlahan setelah mengenal dunia Kay.

Kay atau Kirana Kharitonova punya kehidupan yang jauh berbeda dengan Ben. Dia punya banyak teman, kehidupannya berwarna, punya tante yang nggak mengekang, dan bebas melakukan apa pun yang disuka. Ben nggak pernah mengenal orang seperti Kay (atau emang belum sempat kenal jauh sama teman2 yang disebut hanya suka datang kalau butuh itu
More...