Reviews

Anak semua bangsa by Pramoedya Ananta Toer

apn01's review

Go to review page

adventurous challenging dark emotional informative reflective medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? No

rucha's review against another edition

Go to review page

5.0

Setelah kepergian Annelise, Minke yang masih diselimuti kesedihan harus tinggal menemani mertuanya Nyai Ontosoroh di Wonokromo. Selama masa perenungannya di Wonokromo, banyak sekali perkara yang tidak mengenakkan hatinya terjadi bertubi-tubi.

Dalam buku ini, karakter Minke tumbuh menjadi pribadi yang lebih matang. Minke yang sangat kagum dengan Eropa dan segala kemajuannya, bahkan setelah dia kehilangan istrinya karena hukum Eropa itu sendiri, masih buta dan mencintai Eropa. Pada cerita kali ini, dia disadarkan untuk melihat bagaimana kolonialisme bangsa Eropa, khususnya pemerintah Kolonial Belanda, sangat menyiksa pribumi Hindia Belanda. Dia baru melihat betapa beruntungnya dia yang terlahir sebagai anak Bupati, keturunan darah ningrat yang dia sendiri benci karena berbagai macam tata krama dan budayanya, tetapi dia nikmati pula kenyamanan yang dia dapat sebagai keturunan darah ningrat itu.

Munculnya beberapa tokoh baru seperti, Khouw Ah Soe, Trunodongso, dan Ter Haar, membuat mata Minke terbuka dengan didapatkannya pengetahuan baru dari kawan-kawan barunya ini. Pecah sudah seorang Minke dari gelembung kenyamanannya, mulai bangkit keinginan dia untuk lebih mengenal pribumi dan bangsanya sendiri, Hindia. Sadarlah dia akan kebenaran dibalik nasihat Kommer yang selama ini tidak terlalu digubris olehnya.

Disisi lain, sosok Nyai Ontosoroh masih seperti dulu, pribadi dengan karakter yang kuat dan masih menjadi karakter kesukaanku. Wanita yang pemikirannya, meskipun belum sepenuhnya modern, tapi tetap luar biasa.

Seperti buku sebelumnya, banyak sekali drama-drama yang terjadi, dari kejadian dramatis yang satu, lompat ke kejadian dramatis selanjutnya, dan begitu terus-terusan. Transisi dari kejadian dramatis satu ke kejadian dramatis berikutnya itu, masih sedikit membuatku bingung mengikutinya, seperti hal yang aku alami saat membaca buku pertama (Bumi Manusia) dari series ini.

Tetapi tidak perlu khawatir, karena gaya tulisan Pram sendiri selalu memikat. Segala macam informasi dan fakta sejarah yang disisipkan membuatku mencari tahu lebih lanjut tentang sejarah negara sendiri yang belum sepenuhnya aku mengerti. Hal ini membuat aku betah dan membuatku ingin membaca lebih lagi. Seperti lorong waktu, setiap kali membaca buku ini rasanya seperti berjalan dan kembali ke masa lalu.

elokienn's review against another edition

Go to review page

challenging dark emotional hopeful informative inspiring sad tense medium-paced
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

5.0

blackinbooks's review against another edition

Go to review page

5.0

"Ya, Ma, kita sudah melawan, Ma, biarpun hanya dengan mulut."

Untungnya, saya punya Tetralogi Buru dengan cara nitip sana-sini, dan didapatkan dengan harga cukup murah bila dibandingkan dengan edisi cetak ulang. (Bahkan, saya beli Jejak Langkah dengan harga 15ribu saja.)

Tapi yang jelas, uang yang dikeluarkan untuk beli tetralogi ini sepadan dengan isinya.

ratihlatifah's review against another edition

Go to review page

5.0

“Anak Semua Bangsa”
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantra
Jumlah Halaman : 353 halaman
Pengulas : @ratihlatifahm

“Hanya beberapa jam setelah surat belakangan itu datang tilgram : Mengucapkan ikut berdukacita atas meninggalnya Mevrouw Annelies. Panji Darman.
Dengan demikian ketegangan selama ini, yang memungkinkan syaraf bisa jadi rusak-binasa, telah mencapai titik-ledak.” (hal. 51)

Robert Jan Dapperste alias Panji Darman yang diutus Mama (Nyai Ontosoroh) dan Minke mendampingi kepergian Annelies ke Nederland menjadi saksi bagaimana Annelies hilang akal sehat dan lambat laun hanya seperti mayat hidup lalu menghembuskan nafas terakhinya di bumi leluhur.
Tragis, kisah cinta paling menyakitkan yang dinistakan hukum-hukum Nederland. Dengan mati pelan-pelannya Annelies, membuatku mengangguk bahwa kehilangan orang tercinta sedang raga hanya bergantung pada yang terkasih membuat semuanya runtuh ketika dipaksa pergi dan terpisah. Runtuh luruh, hingga pedalaman jiwa terjerembab menyerah pada hidup.

Setelah kepergian Annellies, Minke harus kembali menjalankan kehidupannya. Gejolak lain datang silih berganti yang harus dihadapinya. Mulai dakwaan dari sahabatnya Jean Marais; “Kau tak kenal bangsamu sendiri.” (hal.73). Jean ingin Minke sadar bahwa ia harusnya membuat orang Pribumi terpelajar dengan tulisannya.

Dilanjutkan dengan sepenggal kisah keluarga Mama (Nyai Ontorsoroh) ; Sastro Kassier, Surati, dan penindasan Plikemboh di Tulangan. Lalu tentang Petani Trunodongso, tentang hubungan Minem, Robert Melemma, dan bayi yang bernama Rono, juga surat-surat dari Robert Mellema yang dikirim dari antah berantah.

Tapak jalan panjang Minke masih berlanjut.
More...