Reviews

Tarian Bumi by Oka Rusmini

cornflovvers's review against another edition

Go to review page

4.0

Kisah tentang seorang perempuan Bali dari kasta tinggi nekat menikah dengan laki-laki biasa bahkan dari kasta rendah. Berbagai kisah masa lalu dan pandangan masyarakat adat pun turut andil menjadi bumbu dalam cerita mereka.
.
▶Karakter Favorit
Ida Ayu Telaga Pidada, definisi orang yang baik, sabar, tangguh, dan setia. Cantik luar dan dalam

lovingkire's review against another edition

Go to review page

5.0

Since the erstwhile, feminist novels are my jam. Socialist feminists believe that there is a direct link between class structure and the oppression of women, and that’s clearly and deeply illustrated in this book. What I like about Oka Rusmini is that she is able to foment Bali in a reality the demeanor of Balinese women who get the discrimination. Most of the conflicts between Balinese women are triggered because the people there always judge and determine everything based on caste. Although it can make your head feel like you're being beaten and want to throw up because of a lot of information the reader gets, it still enriches knowledge about one of the customs in Indonesia and the style of language used is very straightforward and sharp, but sometimes it feels smooth and tends to be poetic.

I personally like the two characters in this story and In the process of reading this I initially really liked Luh Sekar, a great traditional dancer, a woman with strong ambitions which I think is a good thing as long as the goal of her ambition is only for her, but when ambition is passed on to her child she is carried away by an enormous ego. There are so many bitter facts of life that we can reap from Luh Sekar's side, the fact that living as people who are powerless to get happiness, the value of happiness itself will be more expensive, it comes only occasionally.

Then there is also Luh Kenten, who introduces humans with different sexual orientations (Manusia yang keluar dari pakem) and hides their feelings a lot. They hide a lot of pain. Someone who sees women as extraordinary creatures, with a more complex structure in the female body than that of men. There are several parts that I like about Luh Kenten's anger:

“Aku tidak akan kawin, Meme. Aku tidak ingin mereka bohongi. Aku benci seluruh laki-laki yang membicarakan perempuan dengan cara yang tidak terhormat!”

“Kenten benar-benar sakit hati mendengar percakapan di kedai kopi itu. Benarkan perempuan hanya memerlukan satu potong tubuh laki-laki utnuk membantu menghanyutkan sungai ke laut? Benarkah begitu dahsyatnya daging laki-laki sampai perempuan mau melahirkan daging mereka? Merawat, membesarkan, dan memberi makan tidak hanya pada potongan daging itu saja, tetapi dia pun harus mengenyangkan tubuh laki-laki!”

"Alangkah mujurnya makhluk bernama laki-laki. Setiap pagi para perempuan berjualan di pasar, tubuh mereka dijilati matahari. Hitam dan berbau. Tubuh itu akan keriput. Dan lelaki dengan bebasnya memilih perempuan-perempuan baru untuk mengalirkan limbah laki-lakinya."
The pages in this book also often bring readers to a sea of ​​tears mixed with immense anger that explodes over the fact that reading this story, we can't do anything about their misery in the context of Balinese tradition. Including me. So far, this rebellious book is able to sneak into one of my favorite books.

nilajada's review against another edition

Go to review page

4.0

oka rusmini selalu berhasil menuangkan adat bali menjadi narasi yang apik. di tarian bumi, telaga menjadi tokoh utama. seorang keturunan brahmana yang jatuh cinta kepada keturunan sudra. secara ringkas novel ini menggambarkan budaya patriarki pada adat bali, utamanya tentang rumah tangga dan pernikahan. karakter dan alur digali dengan bagus, cuman sayangnya ada beberapa karakter yang mungkin bakalan lebih seru jika dibahas/digali lebih mendalam, misalnya kisah luh kenten dan ketu.
membaca karya oka rusmini yang ini hampir-hampir dapet pengalaman yang sama dengan membaca tempurung. banyak tokoh yang dikenalkan, banyak alur maju-mundur, semisal gak fokus atau buat catatan kecil (atau senggaknya buatku) bakalan bingung sama tokoh-tokohnya.

enflowery's review against another edition

Go to review page

4.0

3.5 stars

Luh Kenten dan Ratu. Mereka merupakan tokoh yang aku suka di buku ini. Mereka tokoh-tokoh yang memiliki cukup keberanian untuk jujur dan berpikir untuk dirinya sendiri. Mereka yang membawakan buku ini sedikit kehidupan.

Buku ini menggambarkan bagaimana adat bali memenjarakan para perempuan dalam sebuah kotak-kotak kasta. Sebuah ambisi, mimpi, dan kehidupan yang disampirkan di pundak anak-anak Bali untuk dijadikan nyata. Mungkin sedikit mirip generasi sandwich? Tetapi kelahiran disini menentukan siapa diri kalian untuk selamanya.

Telaga merupakan salah satu perempuan yang cukup berani untuk mendobrak kastanya. Memilih untuk hidup di langit terbawah, meninggalkan segala hal yang selama ini disiapkan berkecukupan untuknya.

Saat membaca buku ini, aku suka berpikir, kenapa setiap tokoh tetap menjudge satu sama lain? Menghina satu sama lain walaupun mereka pernah berada di posisi mereka? Tapi aku rasa hal tersebut juga gak jarang kita temukan di dunia nyata. Sebuah pertanyaan yang saya kurang mengerti jawabannya.

Menurutku, buku ini akan lebih powerful jika telaga punya sedikit keinginan untuk melawan, karena aku merasa seluruh tokoh di seluruh buku tidak memiliki development apa-apa, seperti tidak memiliki poin apapun yang ingin di sampaikan. Alurnya pun sama saja, rasanya tidak ada sesuatu yang cukup berarti terjadi. Satu-satunya yang terasa seperti puncak konflik hanya pada akhir buku.

Banyak adegan yang menurutku penting namun dilewatkan di buku ini, seperti bagaimana cara Telaga izin kepada ibunya untuk menikahi seorang laki-laki Sudra, bagaimana Telaga menemukan suami dan neneknya
Spoiler meninggal
. Terlalu banyak yang terjadi di buku ini, namun tidak cukup didalami dengan baik agar pembaca dapat benar-benar mengerti bagaimana rasanya menjadi perempuan Bali.

Ada saat-saat tertentu yang begitu menancap di hatiku. Seperti bagaimana Luh Sekar rela menikah dengan siapapun asalkan dapat membantu mengangkat derajatnya, Luh Kenten yang jujur dengan dirinya sendiri, pemikiran telaga tentang apa yang disebutnya 'ayah', juga kata-kata jujur Ratu tentang kehidupannya.

Buku ini merupakan sekelumit penggambaran panjang masyarakat bali yang dipotret dalam sebuah foto kecil. Buku ini menyuarakan pengorbanan-pengorbanan perempuan-perempuan Bali yang tidak bisa mendapatkan keberanian untuk mengakuinya. Buku ini cukup membuka mata ku tentang apa dan ketimpangan yang terjadi di Bali baik pada masa lalu maupun masa sekarang. Buku ini merupakan sebuah perlawanan dan penggambaran tentang apa yang terjadi di pulau Bali melalui sebuah cerita.

Sangat ku rekomendasikan untuk dibaca setidaknya sekali seumur hidup.

taunusleserin's review against another edition

Go to review page

challenging emotional informative reflective sad slow-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.0


Das Buch "Earth Dance" der indonesischen Schriftstellerin Oka Rusmini habe ich während eines längeren Urlaubs auf Bali im April 2024 gekauft. 

Es handelt von 4 Frauen verschiedener Generationen im balinesischen Kastensystem.

Als Touristin sieht man immer nur die schillernde Oberfläche dieser vermeintlichen Trauminsel. Die Menschen sind ausschließlich freundlich und die Frauen scheinbar gleichberechtigt. Dass die meisten Menschen sehr unfrei sind in ihrem Handeln, wird nach außen nicht sichtbar. 

"An important characteristic of Balinese hierarchy is a woman should not marry beneath her, that is, that she should not marry someone of lower family or caste. To do so would lower the status of the whole family."

Telaga, die Protagonistin des Romans, heiratet gegen den Willen ihrer Mutter, einen Mann unterhalb ihrer Kaste. Da es auf Bali für Frauen üblich ist, nach der Hochzeit in das Haus des Mannes einzuziehen, um dort mit seiner Großfamilie zu leben, ist sie dort den ständigen abschätzigen Bemerkungen und Anfeindungen sowohl ihrer Schwiegermutter als auch ihrer Schwägerin ausgesetzt. Aber auch das Verhalten der eigenen Familie, vor allem ihrer Mutter, ist geprägt durch Neid, Gier, Hohn und Intrigen. 

Für die 160 Seiten habe ich Recht lange gebraucht, da das Buch nicht gerade ein Page Turner ist. Es hat sich jedoch gelohnt, dran zu bleiben. 

liesthemoontells's review against another edition

Go to review page

challenging emotional informative reflective sad medium-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

3.75

This short, readable novel gave me a glimpse into a very different world to my own. Although brief, it provided a rich insight into a side of Balinese culture that most tourists will never engage with, specifically the role of the caste system and its impact on women and their societal roles.

While quick and easy to read, much of the  writing was very wooden and clumsy, with over-exposition a frequent feature. I am unsure if this can be attributed to the original text, or if the translation quality was poor, but it did impact my rating of the book.

The way the book discusses gender and sexuality is intriguing, and I would be keen to find out if these are themes the author explores further in her other writings.

Expand filter menu Content Warnings

kalamala's review against another edition

Go to review page

challenging dark emotional sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0


Expand filter menu Content Warnings

snowonirori's review against another edition

Go to review page

3.0

Suasana bali bener bener kental banget disini. kwkwk jujur aku lebih tertarik sama nasib kenten, dia yang mutusin buat ngga nikah sama sekali dan tertarik sma sahabatnya sendiri. Aku ngeliat author bener bener nguasain topiknya. Walau alurnya maju mundur tapi aku tetep enjoy bacanya, cuman aku ngerasa cerita ini masih bisa dikembangin lagi dikit. It's a shame the way they did to telaga, though

dinamakan's review against another edition

Go to review page

5.0

Aku pertama kali baca ini tahun 2019 kalau nggak salah. Waktu itu aku nggak sengaja lihat bukunya di perpustakaan fakultas, terus iseng baca. Karena tertarik, akhirnya pinjam.

Ceritanya sangat kental dengan sistem kasta, seperti apa pernikahan beda kasta, dan sedikit menyoroti kisah cinta sesama jenis juga (glg).

Recommended banget ini bukunya

claudiashelf's review against another edition

Go to review page

emotional reflective medium-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.25

❝ Kelak, kalau kau jatuh cinta pada seorang laki-laki, kau harus mengumpulkan beratus-ratus pertanyaan yang harus kausimpan. Jangan pernah ada orang lain tahu bahwa kau sedang menguji dirimu apakah kau memilki cinta yang sesungguhnya atau sebaliknya. Bila kau bisa menjawab beratus-ratus pertanyaan itu, kau mulai memasuki tahap berikutnya. Apa untungnya laki-laki itu untukmu? Kau harus berani menjawabnya. Kau harus yakin dengan kesimpulan-kesimpulan yang kau munculkan sendiri. Setelah itu, endapkan! Biarkan jawaban-jawaban dari ratusan pertanyaanmu itu menguasai otakmu. Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil risiko. ❞

Buku ini merupakan buku pertama yang saya baca dengan latar belakang mengenai adat istiadat Bali. Jujur, bisa dikata bahwa melalui buku ini, saya banyak belajar mengenai kebudayaan Bali khususnya mengenai bagaimana kedudukan seorang perempuan dalam budaya Bali. Ya, buku ini mengusung tema Faminisme. Melalui buku ini, saya belajar mengenai keberagaman kehidupan masyarakat Bali, dari mulai budaya, tradisi, dan bagaimana terdapat banyaknya kasta namun tetap tidak mengindahkan sosok perempuan di Bali. Mengetahui bahwa pada masa itu, perempuan hanya dianggap sebagai sosok atau pemeran kedua dalam kehidupan. Bahwa kebudayaan dan adat istiadat setempat masih beranggapan bahwa perempuan adalah sosok yang rendah di banding laki-laki karena sistem patriarki kala itu. Padahal, perempuan dalam cerita buku ini digambarkan sebagai sosok yang kuat dan tangguh. Saya pun percaya, hingga saat ini, perempuan di Bali masih begitu kuat dan tangguh.
Terlebih dikarenakan dalam buku ini mengindahkan sudut pandang perempuan, maka di dalamnya terdapat banyak tokoh pertempuan dengan kehidupan yang berbeda namun masih dengan kesamaan bahwa perempuan kala itu selalu diperlakukan tidak adil dalam kebudayaan. Dengan pembahasan yang cukup berat dan rumit, saya rasa buku ini akan cocok jika dibaca di saat suasana pembaca sedang merasa nyaman. Maksud saya, ini adalah tipe bacaan yang akan membuat geram dan lelah jika dibaca ketika keadaan diri sedang tidak baik-baik saja. Namun, meskipun demikian, buku ini cukup menakjubkan dalam membahas mengenai kehidupan perempuan di Bali.