Reviews

Meisje van het strand by Pramoedya Ananta Toer

lynnly's review against another edition

Go to review page

dark reflective sad medium-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

2.5

chiputrix's review against another edition

Go to review page

2.0

hmm apa ya.. ga tau mau nge-review apa sebenarnya. baca buku ini pun ngawang-ngawang sama ceritanya...

sandysr28's review against another edition

Go to review page

5.0

Cukup sulit rasanya untuk mencari buku ini karena termasuk buku langka, saya saja membelinya di toko buku bekas dengan harga yang lumayan terjangkau dan tentu ada kekurangannya. Tapi takpa yang penting ori. Awalnya agak kesusahan untuk membaca buku ini karena sudah lama tidak membaca karya-karya pram apalagi “Gadis Pantai” ini lebih dulu diterbitkan dibanding dengan tetralogi buru, tapi setelah membaca paragrafnya berulang-ulang akhirnya bisa beradaptasi juga.

Novel ini menceritakan kisah seorang gadis yang penulis panggil dengan sebutan gadis pantai, berlatar di wilayah pesisir utara pulau jawa yaitu daerah rembang, jawa tengah. Gadis pantai yang baru berumur 14 tahun dipinang secara tidak resmi oleh bendoro, seorang pembesar di kota. Dia dinikahkan hanya untuk memenuhi nafsu bendoro dalam artian dijadikan seorang gundik, sebelum akhirnya bendoro menikah secara resmi dengan seorang perempuan yang sederajat atau sekasta dengannya.

Saya suka dengan tema yang diangkat dalam novel ini karena mengangkat tentang praktik feodalisme yang dilakukan oleh kaum bangsawan terhadap kaum jelata. Yang mana dalam kasus ini adalah dibolehkannya seorang bendoro memiliki gundik dan hal itu dianggap sebagai latihan sebelum nantinya menikah secara resmi. Adapun wanita utama dalam rumah bendoro bisa berganti sebanyak 25x tanpa mengurangi wibawa bendoro. Sebuah ketidakadilan yang nyata terhadap perempuan kala itu. Kemudian bendoro juga tidak mesti hadir dalam proses pernikahan dan bisa diwakili dengan sebilah keris, sebegitu tertutupnya kah sampai-sampai harus diwakilkan dengan keris? Namun menariknya bendoro ini sudah tahu dan mengenal Islam, bisa baca Qur’an dan hadis juga rajin beribadah, tapi nyatanya kelakuan bendoro ini menyimpang dengan islam. Apakah sebuah kontradiksi ini wajar pada saat itu? Atau mungkin karena bangsawan di masa itu masuk islam sebatas ikut-ikutan sebab keturunan atau pendahulunya? Entahlah.

Salah satu tokoh yang membuat saya tertarik adalah bujang, seorang pembantu yang juga kerapkali membantu gadis pantai akan berbagai hal yang tidak diketahuinya. Mulai dari mengajari sopan santun, cara berbicara, cara berjalan dan lainnya. Dialog antara gadis pantai dengan bujang ini filosofis benar, menanyakan berbagai hal tentang kehidupan, perbedaan kasta, perbedaan kota dan kampung dan sebagainya. Tentunya tidak semua bisa dijawab oleh si bujang malah sering membuatnya kesal. Tetapi yang keren dari si bujang adalah cerita pengalaman pribadi dan para buyutnya, lagi-lagi di novel ini disinggung sedikit mengenai jalan raya pos dan juga disinggung terkait pernikahan R.A Kartini.

Akhir cerita di novel ini gantung sebab wajar karena pada dasarnya ini adalah bagian dari trilogi namun buku kedua dan ketiganya telah dibakar. Sungguh sangat disayangkan. Kesimpulan, saya rekomendasikan novel ini bagi teman-teman yang menyukai karya-karya pram apalagi membahas tentang feodalisme di pulau jawa dan juga membahas isu tentang ketidakadilan terhadap perempuan. Tak perlu lama-lama lagi, segeralah baca dan nikmati.

spxceflwr's review against another edition

Go to review page

2.0

Reread for assignment

dannb's review against another edition

Go to review page

adventurous challenging emotional informative reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.5

nverad's review against another edition

Go to review page

3.0

Yah.. Mau bagaimana lagi. Memang kisah hidup manusia tu panjang ya.

schoenabend's review against another edition

Go to review page

medium-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.5

it's very unfortunate that the military destroyed the rest of the story bcs we could've had the continuation of gadis pantai's journey 😔

pasarmalam's review against another edition

Go to review page

5.0

LANJUTANNYA? MANA LANJUTANNYA? SAYA BUTUH LANJUTANNYA-

Gadis Pantai otomatis menjadi karya Pram favorit saya setelah Tetralogi Buru. Bukunya cuma satu, katanya sih awalnya ada dua buku lagi, sayang sisanya sudah lenyap dari muka bumi. Meski demikian, dia cukup powerful untuk mengguncang naluri saya.

Pertama-tama, tokoh utamanya perempuan! (Yay!) Semua diambil dari sudut pandang seorang gadis nelayan yang menangis tersedan-sedan saat kita ajak kenalan. Hidup baginya sesimpel bangun pagi-pagi sekali dan mendapati air laut sudah surut di hadapan pintu rumahnya. Tapi angin yang berubah arah terpaksa membawa perahunya melewati ombak yang berbeda.

"Kadang dalam ketakutan ia bertanya: mengapa tak boleh tinggal di mana ia suka, di antara orang-orang tersayang dan tercinta, di bumi dengan pantai dan ombaknya yang amis." (Hal 12)

Saya suka kalimat itu, beserta banyak sekali pertanyaan-pertanyaan lain yang lewat di benak Gadis Pantai sepanjang narasi kisah hidupnya. Dia berangkat sebagai gadis yang polos, menurut saya usianya bahkan terlalu muda untuk dinikahkan (re: dijual ke priyayi). Lambat laun, dia banyak belajar dan kita bisa lihat betapa kuatnya dia, teguh pendiriannya, serta gimana dia menanggapi kerasnya hidup sambil masih menyimpan sisi melankolis acapkali mengingat kampung halaman. Wanita Jawa yang tangguh. Saya membayangkan ada berapa banyak perempuan-perempuan bernasib sama di masa lalu, yang sejatinya menyimpan berjuta pertanyaan dan pikiran cemerlang di benak masing-masing.

"Kau mengabdi pada tanah ini, tanah yang memberimu nasi dan air. Tapi para raja dan para pangeran dan para bupati sudah jual tanah keramat ini pada Belanda. Kau hanya baru sampai melawan para raja, para pangeran, dan para bupati. Satu turunan tidak bakal selesai, man. Kalau para raja, pangeran, dan bupati sudah dikalahkan, baru kau bisa berhadapan pada Belanda. Entah berapa turunan lagi. Tapi kerja itu mesti dimulai." (Hal 121)

Sudah banyak yang menyebutkan, termasuk di kata pengantar dan bagian sampul belakang, bagaimana buku ini 'menusuk feodalisme Jawa yang tak punya adab dan jiwa kemanusiaan'. Pesan tersebut disuguhkan amat rapi bersama plot yang cerdas dan menarik. Hal lain yang saya pengin garis bawahi mungkin peran feminisme di buku ini. Awal bulan ini saya nonton adaptasi film Little Women yang terbaru, kalimat tokoh Amy soal 'pernikahan adalah strategi ekonomi' masih terngiang jelas di kepala saya. Agaknya Gadis Pantai dan Little Women mengambil latar waktu yang lumayan mirip? Tapi bisa dilihat jelas banget perbedaannya, antara 'economic preposition' di Amerika sana dan di Jawa, bahwa white privileged itu nyata adanya-namun barangkali lebih akurat kalau menyebut budaya, feodalisme, serta kurangnya pendidikan yang menjadi sumber utamanya. Ah, saya nggak sebegitu pandai menghubung-hubungkan poin beginian dalam sebuah buku-yang jelas saya suka banget, semoga pesannya masuk dengan benar ke dalam kepala saya.

Saat diusir oleh Bendoro, Gadis Pantai sekiranya baru berusia delapan belas tahun. Saya, yang tinggal beberapa hari lagi melepas nominal usia yang sama, agaknya nggak bakal bisa hidup menanggung beban seberat dia. Teruntuk Gadis Pantai-Gadis Pantai lainnya di luar sana, terima kasih sudah mau berjuang melawan kerasnya kehidupan dan segala yang membuat kalian lelah menangis sampai tertidur.

12grace4's review against another edition

Go to review page

challenging informative reflective sad medium-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.0

perpeitually's review against another edition

Go to review page

5.0

Judul (Tahun): Gadis Pantai (1987)
Penulis: [a:Pramoedya Ananta Toer|101823|Pramoedya Ananta Toer|https://images.gr-assets.com/authors/1189683798p2/101823.jpg]
Penerbit: Lentera Dipantara
Edisi: Cetakan ke-14, Januari 2021

Saya telah menamatkan buku ini untuk kedua kalinya dan dapat dikatakan bahwa buku ini merupakan karya pertama dari Pak Pramoedya Ananta Toer yang saya lahap. Perkenalan pertama yang membuat saya merasa bahwa karya Beliau adalah sebuah klasik dari Indonesia yang tak boleh luput dari pembacaan.

Kendati sudah dua kali membaca karya ini, bayangan kengerian atas perbudakan yang dilakukan oleh para bangsawan di masa itu masih saja ada. Di zaman itu, perbedaan tempat tinggal saja dapat menjadi penentu apakah seseorang adalah bendoro atau hanyalah seorang sahaya, dan bersiap saja jika kamu berasal dari kampung kumuh. Kamu jelas-jelas ditempatkan di paling kaki-kaki para Bendoro. Sedih sekali hati saya, membayangkan roman ini sungguh benar terjadi di dunia nyata masa itu. Saya bayangkan penderitaan para warga kecil yang tak hanya diperbudak oleh Belanda tapi juga oleh orang-orangnya sendiri.

Keberanian Pak Pram untuk menulis roman yang sangat sarkastik seperti ini, daripada menyinggung Belanda yang sudah jauh, malah menohok para kaum priayi/terpelajar dan pemerintah. Pak Pram juga melukiskan penderitaan kaum perempuan sebagai kelompok yang paling rentan terhadap keganasan dual penjajahan yang terjadi. Gadis Pantai, baru saja menemui akil balighnya tapi sudah direnggut dari orang tuanya di Kampung Nelayan, dibawa ke bawah kaki seorang Bendoro yang entah sudah berapa kali "bermain kawin-kawinan" dengan anak-anak gadis sebelum Gadis Pantai.

Adalah sebuah budaya terkutuk pada zaman itu, namun dilanggengkan, untuk para Bendoro muda mengambil gundik dari desa-desa dan melahirkan anak bagi mereka. Untuk dicatat, apa yang Pak Pram tulis di Gadis Pantai, kemungkinan besar adalah kenyataan zaman itu.

Pak Pram bermain dengan kata-kata yang sederhana, yang anehnya menusuk setajam pisau yang telah diasah dengan baik, tepat di hati para pembacanya. Pak Pram bercerita, seolah ia ada di sana, melihat ketimpangan itu terjadi. Beliau juga menunjukkan ibanya kepada kaum kecil dan memutuskan untuk menyerukan suara mereka melalui karya-karyanya. Tak lupa, melalui karya-karyanya, Pak Pram juga "menyumpahi" para pemimpin dan orang-orang tamak yang sedang memegang kekuasaan.