Reviews

Dari Dalam Kubur by Soe Tjen Marching

fitrisiain's review

Go to review page

dark emotional informative sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

5.0


Expand filter menu Content Warnings

itzreibrary's review

Go to review page

5.0

Dari Dalam Kubur oleh Soe Tjen Marching

Karla tidak pernah cocok di mana pun. Di kampungnya, orang-orang tahu ia berdarah Tionghoa namun matanya bulat dan kulitnya hitam sehingga seringkali ia mendengar komentar, Cino kok ireng (Cina kok hitam). Untungnya di sekolah teman-teman Karla tidak pernah melihat kedua orang tuanya, sehingga teman-temannya mantap menunjuk, “Karla Jawa”, saat mereka mencoba mengelompokkan anak-anak berdasarkan rasnya.

Sayangnya di rumah, Karla tidak seberuntung itu. Ia merasa mamanya sangat pilih kasih, lebih dekat
dengan kakaknya Katon yang memang sangat mirip dengan kedua orang tuanya; berkulit putih dan
bermata sipit. Mereka bahkan terbiasa berbicara bahasa Mandarin di rumah sehingga Karla merasa
dirinya sengaja tidak diajak dalam pembicaraan. Semakin dewasa, Karla semakin yakin kalau mamanya sendiri telah menciptakan neraka untuknya; ia tak hanya wanita yang pilih kasih dengan emosi yang labil dan meledak-ledak, tetapi juga suka mencela segala hal di sekitarnya, mulai dari orang-orang Jawa (yang disebutnya Huana dengan nada jijik), pemerintah, Hari Kartini, bahkan gereja dan pastornya. Lebih buruk lagi, ia juga mengambil segala hal yang disayangi Karla. Puncaknya saat Karla memperkenalkan
kekasihnya Dirman, lelaki Jawa tulen yang berasal dari keluarga kaya raya. Mamanya menentang keras
hubungan mereka, bahkan mengutuknya saat ia pergi meninggalkan rumah.

Baru 18 tahun kemudian, setelah mamanya meninggal, kebenaran tentang mamanya akhirnya terkuak. Masa lalu sedemikian kelam yang akhirnya menjustifikasi segala tindak-tanduknya di masa kecil Karla.

Aku tidak tahu bagaimana caranya menulis ulasan yang adil untuk buku ini. bagaimana cara
menggambarkan diskriminasi menjijikkan yang dialami oleh Karla dan ibunya. Bagaimana cara
menggambarkan perasaan si kecil Karla menghadapi ibu yang di matanya hanya menyinarkan kebencian
terhadap dunia, bahkan terhadap putrinya sendiri. Bagaimana cara menggambarkan pengalaman ibu
Karla, seorang perempuan Tionghoa yang dituduh terlibat dengan Gerwani dan G30S.

Buku ini penuh dengan kemarahan. Tapi bila seseorang mengalami ketidakadilan bertubi-tubi seperti yang dialami oleh Djing Fei alias Lydia Maria, apa yang bisa kauharapkan?

Aku bukan sales rep buku ini. Tapi Dari Dalam Kubur terlalu penting untuk dilewatkan. Semakin
mendekati akhir, kau akan semakin terlarut, dan semakin tercengang, ngeri, marah, jijik, saat menyadari kalau kisah dalam buku ini ternyata adalah fakta, nyata adanya.

“Siapapun bisa jadi jahat dan berbuat keji, tapi jauh lebih gampang memusuhi etnis daripada kelakuan
seseorang karena kelakuan yang keji itu sering kali bisa disembunyikan. Sedangkan warna kulit, mata
sipit, rambut pirang, atau hidung mancung lebih gampang kelihatan.” – hal 238.

”Rasisme tidak diciptakan oleh warna kulit atau bangsa apa pun. Rasisme dan diskriminasi diciptakan dalam pikiran. Manusia bisa saja mendiskriminasi dengan istilah-istilah dan cerita-cerita baru. Mereka bisa menciptakan diskriminasi apa pun bila mau.” – hal 268.

“Pantes saja setelah Putri Salju diciptakan, muncullah Cinderella, si upik abu yang kerjanya bersih-bersih rumah. Rupanya, perempuan selembut salju dan bermental babulah yang diharapkan begitu banyak pria. Setelah diperbudak, kalau bisa mereka juga bersedia diam seribu bahasa seperti Putri Tidur.” – hal 275.

“Pada waktu yang hampir sama, saya melihat darah menggenang dari kamar interogasi lain. Seorang ibu
menggeletak dipandang anaknya yang masih berumur delapan atau sembilan tahun. Sipir tambun yang
berada di dekatnya segera memerintahkan sang anak untuk ngepel darah tersebut. Gadis cilik itu manut,
dengan khidmat, tangannya yang mungil menyeka darah ibunya pakai kain pel lalu sekonyong-konyong
dibenamkan wajahnya ke dalam darah itu sambil menangis tersedu-sedu.
Pesta berlanjut, dengan tawa-tawa mereka, lagu yang berdentum keras, mereka sedang merayakan
penjarahan atas tubuh kita. Allah ndak menjaga kami di sini.” – hal 287.

“Inilah penjajahan yang sempurna, ketika sang budak jadi bahagia sebagai budak, dan bahkan memuja dan membela mati-matian sang tuan dengan jiwa dan raga mereka.” – hal 341.

“Ndak ada gunanya kesadaran kalau kita ndak mampu lepas dari kekejian. Malahan cuma nambahi
derita dan siksa. Mungkin orang menjadi gila bukan karena mereka sudah tak lagi waras, tetapi karena
mereka terlalu sadar atau jauh lebih sadar daripada orang waras.” – hal 344.

"Mungkin karena itulah manusia-manusia di sini ogah mbaca. Bukan saja karena kegoblokan dan
kemalasan tapi juga mungkin tanpa sadar hal inilah yang melindungi diri mereka. Sekarang, pengin sekali saya melupakan buku-buku yang sudah telanjur saya baca, yang cuma bikin saya tambah menderita. Waktu ketemu sama orang-orang dungu itu, saya jadi iri. Mereka bisa terus hidup tenteram bahagia tanpa mikir terlalu dalam.” – hal 345.

“Kedamaian yang dinikmati selama ini sebenarnya adalah sebuah pengkhianatan: pengkhianatan
terhadap sejarah Mama, terhadap berbagai ketidakadilan yang terjadi pada jutaan jiwa, terhadap
kebenaran.” – hal 501.

thebookclubmks's review

Go to review page

Apa yang akan terlintas pertama kali di pikiran kita, ketika mendengar peristiwa '65? Apakah kita akan langsung mengarah pada PKI? Kekejaman PKI? Penculikan para jenderal angkatan darat? Peristiwa lubang buaya? Atau mungkin yang paling anyar diantara semuanya mengenai film yang di buat di masa orde baru yang memperlihatkan kekejaman PKI. Film yang di masa orde baru akan berduyung-duyung ditayangkan, tak hanya di Kota Jakarta yang penuh dengan hingar bingar bahkan sampai ke desa yang dimana hanya kepala desa yang memiliki pesawat televisi saat itu.

Tapi, untuk saat ini kita akan membicarakan peristiwa '65 agak sedikit berbeda dari yang kita pahami lewat buku-buku sejarah yang diajarkan kepada kita ketika mungkin mash berada di bangku sekolah dasar hingga bangku sekolah menengah atas. Bicara soal masa lampau bukan cuma menguak luka lama, tapi juga memberikannya kesempatan untuk akhirnya perlahan sembuh. Buku ini berkisah mengenai seorang eks Tapol (tahanan politik) yang bernama asli Djing Fei di masa orde baru. Seorang wanita yang menjadi Tapol karena dituduh sebagai bagian dari organisasi wanita yang bernama GERWANI.

Dimana akibat peristiwa tersebut mengubah seluruh dunia kehidupannya, tidak hanya memberikan trauma tersendiri, tetapi juga memengaruhi kehidupan keluarganya, hubunigan dengan para tetangganya dan juga yang paling terpeneting mengubah paradigmanya akan dunia. Di bagian awal dalam buku ini yang menceritakan dari sudut Karla yang merupakan anak kedua dari Djing Fei. Dimana dibagian ini sosok Djing Fei dikenal dengan nama Lidya Maria. Pada bagian ini pembaca akan disajikan bagaimana hubungan yang kaku dan dingin antara Karla dan Ibunya. Bagaimana Karla dianaktirikan oleh ibunya, dimana sangat jelas digambarkan adanya perbedaan perlakuan antara Karla dan kakaknya yang bernama Katon.

Perlakuan diskriminatif yang dirasakan Karla tidak hanya dilakukan oleh keluarga intinya, tetapi hal tersebut juga dilakukan oleh keluarga besarnya, di lingkungan sekolah pun Karla tetap di perlakukan berbeda karena tampilan fisiknya yang tidak merepresentasikan seorang tenglang (keturunan tionghoa).

Pada bagian pertama ini pembaca akan disayat-sayat perasaannya, seolah-olah dunia tidak lagi berpihak pada Karla. Karena saat itu bisa dibilang konflik batin yang dialami oleh Karla di masa kecilnya bisa dibilang sangat kompleks.

Di bagian kedua, merupakan bagian yang melihat dari perspektif Djing Fei yang harus berganti nama saat itu karena pergolakan politik di masa orde baru. Di mana saat itu bisa dibilang semua keturunan Tionghoa mengganti nama mereka, sehingga saat itu Djing Fei mengganti namanya menjadi Lidya Maria. Pada bagian ini akan terjawab mengapa kehidupan Djing Fei bisa berubah setelah keluar dari penjara. Hal tersebut terbukti dimana pada pengasuhan anak yang ia lakukan, a membedakan pola pengasuhan Katon dan Karla, jika dilihat sekilas memang hal tersebut dilakukan karena perbedaan keadaan intrik sosial di lingkungan ketika keduanya bertumbuh. Dimana Katon ditanamkan nilai agar bisa memastikan keamanan keluarganya dan secara tidak langsung memengaruhi dirinya menjadi sook yang penuh curiga dan waspada terhadap orang-orang yang berada diluar keluarganya. Itulah diawal saya katakan bahwa kehidupan penjara akan merubah dunia kehidupan seseorang, tidak hanya mengubah dirinya tetapi juga orang-orang sekitarnya.

Sebagai penutup, jujur saja, buku ini akan mencabik tabir diantara dirimu sendiri. Menyusup pelan diantara tarik menarik dengan jiwamu yang paling pribadi. Secara eksplisit tanpa basa-basi, ia membongkar, menggugat, mempertanyakan, mengaduk-aduk kembali pertanyaan yang selama ini terkurung kuat-kuat dari tabu disuarakan.

*Review by Amar

dulyes's review

Go to review page

4.0

⚠️ tw // rape, violence

Setiap tahun di bulan September, bahasannya selalu sama. Sengaja baca ulang buku yang pas, judulnya Dari dalam Kubur. Tokohnya ada Karla, Mama, Papa dan Dong. Buku ini cerita tentang Keluarga Karla. Karla sayang sama Mama dan bangga punya Mama yang hebat dan beda. Tapi makin besar, Karla makin merasa selalu disingkirkan sama keluarganya. Karla sadar ada banyak hal yang sengaja dirahasiakan darinya.

Mama, cuma guru Mandarin biasa yang di satu waktu diajak adiknya untuk ikut kumpul sama Ibu-ibu yang tergabung di Gerwani. Mama gak tahu apa-apa, tiba-tiba ditangkap, dituduh Gerwani yang ikut bunuh jenderal. Padahal, Gerwani yang Mama kenal suka ajari anak-anak baca, diskusi tentang banyak hal dan bantu perempuan korban kekerasan, yang gak mungkin tega bunuh manusia. Di penjara, Mama bersama korban lain disiksa, diperkosa, diperlakukan layaknya bukan manusia. Bahkan harus makan belatung yang keluar dari tubuh teman satu sel yang meninggal. Setelah keluar penjara, Mama masih harus menderita dengan melahirkan Karla, yang terpaksa lahir.

Hubungan mereka rumit. Di Bab Karla, saya jadi benci sama tokoh Mama, tapi pas baca Bab Mama saya jadi merasa kalau Karla orang paling curigaan di dunia. Yang satu trauma parah, yang satu gampang berasumsi. Yang pasti gak ada yang benar-benar benar ataupun benar-benar salah. Karla begitu karena ketidaktahuan dan Mama begitu karena gak tahu harus apa. Mama akhirnya cuma merasa semuanya salah dia.

Hal-hal yang terjadi setelah 30 September '65 nyatanya lebih gila. Lebih merugikan banyak orang, bawa banyak trauma, bahkan belum selesai sampai sekarang dan gak semua orang tahu hal ini. Korbannya tuh bukan cuma orang yang alami kejadian langsung, tapi juga keluarga dan keturunannya. Sesuatu yang sangat berlainan dari apa diajarkan secara luas.

Buku fiksi sejarah Indonesia terbagus yang pernah saya baca. Peristiwa yang diceritakan langsung bisa bikin nangis, marah, kecewa, putus asa, pokoknya campur aduk. Saya juga terima kasih sekali kepada penulis karena gak menyensor kata-kata kasar.

raflibrary's review against another edition

Go to review page

dark emotional informative mysterious sad tense slow-paced

4.5

Inilah penjajahan yang sempurna—ketika sang budak jadi bahagia sebagai budak, dan bahkan memuja dan membela mati-matian sang tuan dengan jiwa dan raga mereka.

Dari dalam Kubur merupakan novel bergenre fiksi sejarah karangan Soe Tjen Marching yang mengangkat peristiwa berdarah 1965. Novel terbitan Marjin Kiri ini mengisahkan perempuan bernama Karla yang mengalami berbagai ketidakadilan semasa hidupnya. Malangnya, segala sumber nestapa yang ia rasa justru datang dari keluarga, terutama sosok Mama. Di bawah kendali Mama, ia merasa orang-orang berkonspirasi untuk mengucilkan dan membuangnya. Ia tumbuh denagn digelayuti kebencian mendalam. Puluhan tahun kemudian, tabir misteri tragis tersingkap, tidak hanya perihal keluarganya, tetapi juga menyangkut negara. 

Dari dalam Kubur tidak memiliki plot yang runut. Alih-alih didasari plot, novel setebal lima ratusan halaman ini melaju dengan mengeksplorasi pandangan, ideologi, dan laku hidup sang tokoh. Melalui sudut pandang orang pertama, kisah ini dibawakan dengan gaya penceritaan yang maju-mundur seolah mengenang potongan-potongan kenangan dan pengalaman tokohnya. 

Jauh lebih gampang memusuhi etnis daripada kelakuan seseorang. Karena kelakuan yang keji itu sering kali bisa disembunyikan. Sedangkan warna kulit, mata sipit, rambut pirang, atau hidung mancung lebih gampang kelihatan. 

Secara garis besar, Dari dalam Kubur diceritakan melalui dua sudut pandang, yaitu Karla dan Mama. Bagian Karla, sebagaimana sinopsisnya, membahas kesengsaraan yang dideranya sedari kecil. Karla yang telah dewasa diceritakan harus kembali menemui sang Mama yang mulanya ia puja bagai Tuhan lalu ia kutuk bagai setan. Di tengah perjalanan menuju sang monster misterius, pembaca serasa duduk di sebelahnya, di dalam pesawat, menyimaknya berceloteh panjang-lebar. Setiap kejadian dituturkan dengan begitu rinci. Saya bahkan sempat merasa janggal karena terlalu banyak mengungkap hal yang terdengar remeh.

Segala cerita Karla memiliki versi lain kala pembaca akhirnya berkesempatan mengenal Mama. Pada bagian Mama, kisah Karla diputarbalikkan. Alasan keganjilan tokoh Mama terkuak. Cerita-cerita Karla yang mengundang tanya hampir semuanya terjawab. Pembaca yang telanjur geram akan kebengisan Mama dibuat merenung, hingga berada pada titik bersimpati, mengasihani, dan mafhum. Ini mungkin menjadi bagian yang paling berat untuk dibaca karena mengandung adegan kekerasan dan kekejian yang brutal. Untuk itu, buku ini diberi rating lima belas tahun ke atas.

Rasisme tidak diciptakan oleh warna kulit atau bangsa apa pun. Rasisme dan diskriminasi diciptakan dalam pikiran. Manusia bisa saja mendiskriminasi dengan istilah-istilah dan cerita-cerita baru. Mereka bisa menciptakan diskriminasi apa pun bila mau.

Buku ini mungkin bukan tipe buku yang membuat pembaca tidak henti menyibak halaman berikutnya mengingat tulisan di dalamnya lumayan padat. Namun, adanya dua sudut pandang tadi mampu menjadi daya tarik yang membuat pembaca sudi untuk menyelesaikannya. Penulis seakan menghadirkan misteri besar yang memancing rasa penasaran akan keluarga Karla serta hubungan mereka dengan Tragedi G30SPKI. Ditambah lagi, nuansa horror terbangun melalui narasi Karla mengenai asumsinya kepada sang Mama. Kejeniusan penulis dalam menjelaskan segala misteri pun tidak main-main. Salah satu yang paling saya kagumi adalah cerita Ni Garwa, si hantu penghuni kali. Tidak terpikirkan! 

Novel terbitan 2020 ini ditulis dengan bahasa yang tidak setinggi atau sepuitis sastra lainnya. Kekuatan besarnya terletak pada setiap kalimatnya yang terasa tajam, gagasan-gagasannya yang teramat liar, juga narasinya yang begitu menusuk dan berani, misalnya dengan kata bangsat dan gurita untuk merujuk para tiran kala itu. Di lain sisi, penggunaan bahasa Jawa khas Surabaya di nyaris keseluruhan cerita membuat pembaca nonpenutur Jawa mungkin mengalami kesusahan. Catatan kaki pun tidak ada. Terlebih lagi, saltik dan kata nonbaku masih banyak dijumpai. Namun, sulit untuk menyebut hal itu sebagai kekurangan karena pada saat yang sama, bahasa yang dipilih menegaskan latar belakang tokoh, sementara tulisan yang terlihat mentah tanpa suntingan menguatkan kesan membaca sedang naskah asli catatan harian tokoh Mama. 

Manusia adalah ciptaan yang salah kedaden. Produk gagal yang kemudian merajalela dengan kebrutalan, bahkan terhadap sesama. 

Klaim bukan sekadar cerita fiktif  membuat novel kelima Soe Tjen Marching ini tambah menarik. Penulis bahkan muncul di penghujung buku sebagai nama pena salah satu tokoh yang diceritakan menulis pengalaman hidup Karla dan Mama. Hal ini menguatkan kesan bahwa semua tokoh dan peristiwa memang pernah ada dan nyata. Pembaca seolah benar-benar membaca diary seseorang yang kini berada di dalam kubur. 

Penulis pun menguliti habis-habis tema kemanusiaan,  politik, agama, dan diskriminasi rasial yang dibawanya. Saya pun merasa segala kritik sosial yang dimuntahkannya sedikit banyak didasarkan pengalamannya—bagaimana susahnya hidup di Nusantara sebagai Tenglang atau Cino. Sentuhan keperempuanannya juga sukses menggambarkan pedihnya penjajahan di setiap jengkal tubuh wanita. Soe Tjen Marching, Karla, dan Mama bagi saya seperti satu orang yang sama, yang pandangan-pandangannya akan berbagai hal adakalanya membuat saya terkesima. 

Menurut saya, Dari dalam Kubur merupakan satu dari sekian sastra Indonesia yang penting karena berani menghadirkan sisi lain sejarah. Novel ini menunjukkan bahwa tidak semua hal yang diyakini benar oleh masyarakat adalah kebenaran yang sesungguhnya. Pembaca diajak mempertanyakan ulang doktrin dan sejarah juga tidak serta merta mudah percaya dan manut disuapi. Novel ini amat pas dibaca penikmat fiksi sejarah Indonesia, terkhusus sejarah yang ditulis melalui kacamata perempuan Tionghoa. 

Kekuasaan memberi mereka kesempatan untuk menjadikan kami sebagai lawan dan iblis yang selalu harus diperangi sekaligus tetap bisa dikalahkan dengan gampang. PKI dan Gerwani: tokoh antagonis dalam dongeng mereka. 

nonania's review

Go to review page

5.0

Karla, seorang Tenglang—keturunan Tionghoa—terlahir berbeda di keluarganya. Ia mirip Huana—pribumi Indonesia—yang memiliki kulit gelap, tidak seperti anggota keluarga yang lain. Ia selalu diperlakukan berbeda di dalam keluarga maupun di lingkungan sekolahnya.

Berbagai hal terjadi di dalam keluarga Karla. Karla yang awalnya sangat mencintai dan memuja ibunya, perlahan berubah dan kemudian memandang penuh kebencian. Tiba saat ibunya meninggal, Karla mengetahui segala rahasia yang telah dikubur dalam-dalam.

Kisah Karla dimuat dalam bab 1. Kemudian dilanjutkan dengan bab 2 yang berisi biografi sang ibu, Djing Fei. Djing Fei (yang kemudian mengubah namanya menjadi Lydia Maria) adalah salah satu korban G30S pada tahun 1965 yang dipenjara dan disiksa dengan kejam meskipun ia tak bersalah.

Buku ini berisi amarah, dendam, kekejaman, dan kepiluan. Berkali-kali saya menahan napas saat membacanya. Kejamnya peristiwa G30S, khususnya bagi keturunan Tionghoa dan para Gerwani, digambarkan dengan jelas.

Alur buku ini memang cukup lamban dan membosankan di awal, apalagi karena konflik batin Karla yang sangat panjang dan rumit. Namun, rahasia yang terkuak satu demi satu di bab 2 membuat saya ingin terus membacanya.

Berdasarkan isi bukunya, dikatakan bahwa “Kisah ini bukan fiktif belaka. Nama tokoh, tempat, dan peristiwa bahkan lebih nyata dari segala kisah nyata.” Jika memang benar adanya, maka buku ini adalah salah satu bukti sejarah kelam negara kita. Buku ini terlalu nyata.

devinayo's review

Go to review page

4.0

"Karena jadi tua itu sama saja dengan jadi eling kalau hidup itu hakikatnya kumpulan dari kegagalan." - Soe Tjen Marching dalam "Dari Dalam Kubur"

Dalam opininya yang diterbitkan di harian The Jakarta Post, edisi 29 September, Soe Tjen Marching menuliskan bahwa banyak wanita yang dipenjara, disiksa, dan diperkosa setelah tragedi 1965 karena mereka dituduh sebagai Gerwani. Seakan itu saja tidak cukup, wanita-wanita ini harus menanggung luka mereka sendiri karena bercerita tentang apa yang terjadi bisa mengundang stigma dan rasa malu yang lebih dalam.

Djing Fei, yang kemudian harus berganti nama menjadi Lydia, menyembunyikan apa yang terjadi padanya setelah peristiwa 65 terjadi dari anak bungsunya sendiri, Karla. Rahasia yang dipendam selama bertahun-tahun menjadi duri dalam daging dalam hubungan mereka, menimbulkan rasa tidak percaya dan kebencian dari satu sama lain.

"Dari Dalam Kubur" bercerita tentang bagaimana ketidakadilan terjadi ketika orang-orang abai terhadap nasib orang lain. Menurutkan kisah keluarga Tionghoa di Jawa Timur, buku ini membahas soal kompleksitas sebuah identitas dan apa dampak kejadian 65 pada generasi-generasi berikutnya, dan mengapa kita harus mulai membicarakan apa yang sebenarnya terjadi. Bicara soal masa lampau bukan cuma menguak luka lama, tapi juga memberikannya kesempatan untuk akhirnya perlahan sembuh.

Yang menarik dari buku ini adalah pandangannya soal kaum Tionghoa di Indonesia. Perseteruan dan cek-cok antar keluarga dalam buku menunjukkan bahwa tidak ada kaum Tionghoa yang homogen, bahwa dalam satu kelompok yang sering disamaratakan pun, ada perbedaan-perbedaan yang sangat jauh, dari segi agama maupun kelas sosial-ekonomi. Saya rasa ini bagian yang penting untuk membongkar mitos soal orang keturunan China di Indonesia, yang meski sudah bergenerasi-generasi ada di sini, tetap sering dianggap sebagai asing.

Lewat deskripsi mendetail soal tragedi 65 pula penulis menjabarkan soal bagaimana kekejian berlangsung, dan kemudian dianggap normal dan mulai dijustifikasi oleh banyak orang, termasuk oleh mereka yang sebenarnya pun bisa menjadi korban.

Saya merasa buku ini ditulis dengan penuh kemarahan, dan wajar karena memang banyak sekali hal-hal dalam sejarah Indonesia yang membuat saya juga ingin marah. Soe Tjen Marching menguak apa yang terjadi secara detail, juga menjabarkan argumen-argumennya soal banyak hal. Tapi yang terpenting adalah pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan lewat cerita dalam buku ini: Mengapa kita diam, saat ketidakadilan terjadi, dan juga saat itu sudah menjadi sejarah yang terpendam?

safaracathasa's review

Go to review page

5.0

YA ALLAH RECOMMENDED LAH POKOKNYA SAFA APPROVED

nookatdusk's review against another edition

Go to review page

dark emotional informative sad slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? No
  • Diverse cast of characters? N/A
  • Flaws of characters a main focus? N/A

4.5

Kisah dituliskan dari beberapa sudut pandang, dimulai dari Karla (sang anak), Lidya (sang ibu), Karton (sang Kakak). 
Awalnya buku ini menceritakan sosok Karla yang begitu menyanyai sang ibu, bahkan lebih dari apapun. Namun semakin ia dewasa, semakin banyak kejadian-kejadian yang membuat dia menjadi benci akan ibunya. Karla merasa sang ibu pilih kasih, kerasukan roh jahat, rasis dan kejam. Terlebih lagi, Karla lahir di keluarga keturunan Tionghoa namun kulitnya hitam, matanya besar dan rambutnya keriting, membuat dia menderita akan banyaknya perlakuan berbeda yang dia terima.

Di satu sisi, ternyata ibunya mempunyai alasan atas semua yang terjadi terhadap Karla selama ini. Ibunya juga bercerita tentang masa-masa kelam yang dilewatinya ketika ia dituduh komunis, di penjara, disiksa, dll. 

Aku merasa buku ini sebagai salah satu cerita yang harus dibaca oleh banyak orang karena selain penuh dengan cerita kebobrokan negara pada masa itu, banyak juga kritik-kritik sosial yang tertulis yang membuat kita jadi berpikir ulang atas hidup. 

Alurnya memang lambat, tapi pembangunan yang lambat ini membuat kita lebih menyelami setiap kejadian dan perasaan para karakter. 

Worth to read 👌🏻

nanaa's review against another edition

Go to review page

challenging dark emotional informative sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix

5.0