sinawangs's review

Go to review page

4.0

Jarang-jarang nih baca novel dengan pengarang dalam negeri. Kesannya : bukunya bagusss, membuka wawasan tentang Islam banget, walaupun di awal-awal bukunya banyak yang bikin saya ga ngerti soalnya saya juga ga gitu tau tentang bangunan-bangunan terkenal di Eropa. Untung di belakang buku disisipi gambar jadi saya bisa sedikit membayangkan keadaan di sana. Buku ini bikin saya semakin bangga dengan sejarah agama Islam jaman dulu. Eropa yang kita liat sekarang adat istiadatnya jauh banget dari Islam, ternyata dulu pernah jadi daerah kekuasaan Islam yang lumayan luas. Dari buku ini saya tau gimana orang-orang jaman dahulu berjuang untuk menyebarluaskan Islam mulai dari cara yang baik-baik sampe peperangan, yang berhasil dan yang akhirnya terpuruk. Yang paling penting di buku ini kita diajari gimana untuk berusaha untuk 'Menjadi Agen Muslim yang Baik'

astro_moon10's review

Go to review page

4.0

Baca buku ini serasa dibawa keliling dunia

dreeva's review

Go to review page

4.0

hanum menuliskan dengan amat detil tentang perjalanan relijinya bersama suami di eropa.

bahasanya mudah dipahami, budaya dan keindahan eropa yg tidak hanya kebaratan tp juga bernilai sejarah dan tentunya tempat mempelajari islam dengan logis.

awallhidayat's review

Go to review page

4.0

Pengalaman Hanum sebagai jurnalis membuat novel perjalanan sekaligus sejarah ini mengalir lincah dan indah. Kehidupannya di luar negeri dan interaksinya dengan realitas sekularisme membuatnya mampu bertutur dan berpikir ‘out of the box’ tanpa mengurangi esensi Islam sebagai rahmatan lil alamin. – Najwa Shihab (Jurnalis dan Host Program Mata Najwa Metro TV)

***

Sebenarnya, saya tertarik membaca 99 Cahaya di Langit Eropa setelah melihat trailer filmnya. Membaca sebelum menonton film yang diadaptasi dari novel adalah ritual wajib, menurut saya. Saya senang dengan penggalan adegan yang dipertontonkan melalui trailer dan saya mulai berpikir untuk memburu bukunya. Pada akhirnya, saya hanya membaca lewat perpanjangan waktu pinjaman teman dari perpustakaan komunitas.

Buku Hanum dan Rangga memang menceritakan jejak peradaban Islam yang pernah bertahta di benua biru, Europe. Dalam prolognya, diajak flashback tentang Kemal Mustafa yang gagal menaklukkan Austria dengan caranya yang salah. Ditutup dengan epilog, Hanum merenungi perjalanannya menjelajahi bekas dinasti Islam Eropa sebelum ditenggelamkan masa Renaissance.

Sebelum membaca buku ini, saya sudah terlanjur ingin “berkunjung” ke Austria dan negeri permai lainnya di buku ini, Prancis, Spanyol, Turki. Di Austria, saya ingin menapakkan kaki ke tanah asal musik klasik. Saya ingin menjadi penonton opera Wina, saya ingin melihat kuburan Mozart. Di Prancis, apa lagi yang tidak mengundang liur traveller selain mendatangi Eiffel, Louvre, Arc de Triomphe. Di Spanyol, mungkin saya ingin menonton pergulatan matador dengan banteng atau duduk di salah satu sudut Santiago Bernabéu. Di Turki, saya ingin berlayar di atas selat Bosphorus yang membelah Istanbul dan Ankara di atas benua yang berbeda.

Tidak lagi. Saya dibuat kaget dengan narasi indah mengejutkan yang dituturkan Hanum lewat buku ini. Saya tahu Wina punya banyak museum kuno, saya hanya tidak tahu kalau banyak museumnya menjadi penanda Kesultanan Ottoman Turki pernah berpengaruh. Saya tahu Paris punya Louvre dengan Monalisa karya Da Vinci, saya hanya tidak tahu Louvre menyimpan banyak lukisan Bunda Maria dan Yesus dengan kaligrafi Semi-Kufic berlafadz Allah-nya. Saya tahu Spanyol dulunya Andalusia, saya hanya tidak tahu Andalusia ternyata menjadi prototipe Paris untuk menjadi the city of lights. Dan saya tahu Turki berada di dua benua, saya hanya tidak tahu perpindahan istana sultan dari tanah Eropa ke tanah Asia menjadi waktu runtuhnya Ottoman, menjadi sekularisasi.

Sama seperti Hanum selama perjalanannya di Eropa, saya ikut merasa sakit, sedih, senang, kagum, bangga, marah selama membaca. Sakit mengetahui Islam yang sudah sangat redup di beberapa tempat yang dulunya adalah pusat peradaban Islam, sebut saja Granada. Sedih mengetahui bekas mesjid agung Mezquita di Cordoba yang disulap menjadi katedral besar. Senang mengetahui Averroes menjadi ilmuwan berjasa untuk dunia, bahkan hingga sekarang. Kagum dengan Napoleon Bonaparte yang ternyata membuat bangunan sekelas Arc de Triomphe, Obelisk, Louvre berada di garis horizontal yang berkiblat kakbah. Bangga dengan Sultan Al Rahman merukunkan Islam, Yahudi, Kristen dalam keberagaman agama di Cordoba. Marah dengan Kemal Mustafa Kara yang menjadi “pembunuh” untuk memperluas wilayah kekuasaan kesultanan Islam.

Hanum, seorang jurnalis memiliki kosakata yang cukup ringan untuk disisipkan dalam buku yang entah travelogue atau buku sejarah atau keduanya ini. Dia tahu mendeskripsikan setiap tempat yang dia kunjungi dengan jelas. Sayangnya, Hanum tidak punya cukup fakta yang kuat untuk membuktikan setiap ceritanya. Hanya dari Fatma, dari Marion, dari Sergio. Bukan bermaksud tidak percaya, hanya saja itu masih belum cukup dan terkesan terlalu subyektif, menurut saya. Meskipun, jejak kronologis cukup membantu untuk merunutkan setiap peristiwa. Denah untuk setiap kota yang dihadirkan juga memberikan kesan pelengkap yang “it works”.

***

“Tentang kopi kesukaanmu, cappucino, kopi itu bukan dari italia. Aslinya berasal dari biji-biji kopi Turki yang tertinggal di medan perang di Kahlenberg. Hanya sebuah info pengetahuan kecil-kecilan. Assalamu’alaikum” — Fatma, 99 Cahaya di Langit Eropa hal. 50” Aha! Selama ini saya minum kopi yang (sebenarnya) milik muslim.

losingdogs's review

Go to review page

3.0

i read this when i was around 11 years old. it was pretty amusing for me back then

ashkay1001's review

Go to review page

5.0

Thank you Hanum and Rangga. I hope that i can travel to all the places that you mentioned in this book. Europe is not only to be visited for its beauty, but to learn about the history as well. One day, hopefully :)

iraboklover's review

Go to review page

3.0

Novel perjalanan untuk mencari tahu tentang jejak Islam di Eropa. Banyak review yang mengatakan kalau gaya ceritanya mengalir lancar. Tapi menurut saya tidak, tapi lebih ke 'puitis'. Jadinya pengen baca loncat-loncat saja.

Tapi dari segi pesan yang disampaikan bagus sekali. Ada kutipan-kutipan dari Islam kuno. Bagian akhirnya sangat menyentuh, membuat saya menangis dan memutuskan untuk menambah satu bintang lagi untuk buku ini. Yap, I liked it.

alienkeren's review

Go to review page

2.0

Buku yang "lumayan". Sudah lama rasanya tidak baca novel Indonesia yang cukup informatif dan buku ini masuk lah dalam kategori novel informatif.
Sayangnya, penulis buku ini tidak mengakui kalau mereka menulis sebuah karya fiksi. Mereka malah berusaha mengaburkan pandangan pembaca dengan menuliskan prolog yang seperti menggambarkan bahwa buku ini adalah buku non-fiksi, lebih tepatnya buku catatan perjalanan/kehidupan mereka selama di Eropa. Kalau penulis buku ini memaksa untuk memasukkan karnyanya ke dalam buku non-fiksi, saya tarik lagi dua bintang yang saya berikan sebagai penilaian saya ini. Kalau buku ini masuk ke dalam kategori buku non-fiksi, menurut saya buku ini hanya pantas mendapat satu bintang (yang artinya: "I did not like it").
Intinya, penilaian saya akan buku ini berdasar atas asumsi saya bahwa buku ini adalah sebuah karya fiksi berupa novel.

Secara garis besar, menurut saya penulisan buku ini bagus. Tidak seperti novel-novel islami lainnya, terlihat bahwa penulis memang bekerja sebagai penulis dan sudah terbiasa menulis. Kalimat-kalimatnya tidak canggung dan cukup mengalir.
Selain itu, beberapa fakta yang diungkap di buku ini, seperti yang saya bilang, informatif. Seperti contohnya cerita soal jalur kemenangan di Paris yang dibangun setelah Napoleon Bonaparte menang perang. Banyak orang Indonesia yang tidak tahu fakta tersebut, sehingga sangat informatif. Sayangnya, cerita-cerita tentang Islam yang di'temukan' di Louvre atau di tempat-tempat lain itu banyak yang tidak jelas sumbernya dan bukan pengetahuan umum yang kebanyakan orang tahu. Saat membaca bagian-bagian yang janggal mengenai cerita-cerita islami tersebut, saya jadi berpikir, seberapa banyak karya Dan Brown menginspirasi si penulis buku ini? Apakah tujuannya ingin menumpang keberhasilan karya Dan Brown? Bedanya, Dan Brown dengan tegas mengatakan bahwa karyanya adalah karya fiksi, sebuah novel, walaupun banyak orang yang memperdebatkan bahwa apa yang ditulis olehnya itu adalah kisah nyata.

Hal lain yang juga sangat mengganggu saya, terutama bila si penulis memaksakan bahwa karyanya ini adalah karya non-fiksi, adalah berbagai macam drama yang diselipkan dengan berbagai cara. Maksa shalat di Mezquita di Cordoba lah, menangisi lukisan seorang panglima Turki di museum lah, dan masih banyak lagi. Ada adegan-adegan drama begini dan masih mau mengaku kalau ini karya non-fiksi? Coba deh pikir sekali lagi.
Deskripsi situasi dan tempat-tempat yang digambarkan di buku ini cukup bagus. Bisa lah membantu orang-orang Indonesia yang belum pernah ke Eropa untuk membayangkan bagaimana situasi dan kondisi Eropa. Tapi ya itu tadi, kalau tidak lebay, pasti akan jauh lebih bagus.

Setelah saya selesai membaca buku ini, akhirnya saya memutuskan bahwa memang selera saya akan buku-buku bagus saja yang 'ketinggian'. Saat saya menutup buku ini, pikiran saya langsung terbang ke dua sinetron 'bernuansa islami' yang diputar di RCTI setiap malam, yang juga kesukaan mama saya. Dua sinetron tersebut tidak memiliki inti cerita apa-apa dan sangat digemari oleh banyak sekali penduduk Indonesia. Sama saja dengan buku ini: tidak ada plot cerita yang jelas, tidak ada klimaks dan anti klimaks, yang dijual hanya drama, tokoh-tokohnya tidak memiliki karakter yang kuat, sungguh standar. Saya jadi menyimpulkan bahwa buku ini bisa laris manis karena penulis mengerti betul pasar pembaca Indonesia, yang perlu disajikan hanya karya yang gak pake mikir, dan saya salut akan hal itu. Saya jadi ingin bisa menulis seperti itu, mengerti pasar, jadi bisa dapat banyak uang, kemudian bukunya dijadikan film, sehingga bisa dapat makin banyak uang.

Terakhir, ada satu hal yang sungguh sangat menggelitik pikiran saya sejak awal saya membaca buku ini. Ini penulisnya umur berapa sih? Saya seperti membaca tulisan sambil menyelami pemikiran orang tua saya. Ketakutan akan makanan haram tapi protes kalau dikasih makanan vegetarian, tidak berpikiran terbuka saat mengobrol dengan orang ateis malah berusaha berkhutbah, ketakutan sama orang-orang penyuka sesama jenis, dan lain-lain. Ini penulisnya berusaha beradaptasi dengan kehidupan di Eropa gak sih selama tinggal disana 3 tahun itu? Kok malah udah tinggal di luar negeri selama lebih dari 3 tahun tapi makin gak terbuka wawasannya dan rasa empatinya? Menurut saya sih sungguh sayang sekali kalau hal ini benar-benar terjadi pada si penulis.
Tapi kembali lagi ke asumsi saya diawal, mungkin kesan 'close-minded'-nya si penulis saya dapatkan ini hanyalah hasil karya si penulis sendiri - toh, buku ini kan buku fiksi, jadi saya tidak boleh percaya apa-apa yang ada di dalamnya.

Secara garis besar, buku ini pantas dibaca oleh orang-orang yang kurang berpendidikan dan kurang piknik. Bagi orang-orang yang berpendidikan, yah kalau mau hiburan seperti nonton sinetron sekali-kali, silakan coba deh.

hzboy's review

Go to review page

4.0

Baru 4 bab pertama, rasanya aku terharu. Ada beberapa poin-poin dari perkataan salah satu tokoh (Fatma Pasha) mengenai "menjadi agen muslim yang baik" dan itu benar adanya.
Untuk tempat dan fakta-fakta yang dicantumkan, membuatku penasaran untuk menelusur lebih jauh informasi tentang itu semua. Malah menurutku, aku jadi ingin membaca bukunya Karen Armstrong.
Meskipun ada beberapa bagian yang diulang dan membuat bosan, tapi informasi yang terkandung di dalamnya cukup memberikan pengetahuan baru buatku.
More...