Reviews

Sylvia's Letters by Miranda Malonka

violetavoila's review

Go to review page

5.0

"Hari ini aku sampai pada kesimpulan baru, bahwa sebetulnya semua orang di dunia ini gila, dalam level yang berbeda-beda. Tidak ada orang yang sehat mental seratus persen, tidak dengan kehidupan di Bumi yang carut marut begini."
p. 157


Aku kira novel ini cuma nyeritain tentang pengalaman love at first sight seorang remaja SMA, ternyata oh ternyata... Banyak isu-isu serius dan sensitif lainnya yang diangkat di novel ini. Isu-isu yang dibawakan terasa sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, karna bisa jadi, isu-isu tersebut terjadi di lingkungan sekitar kita :')

"Kalau sesuatu sifatnya merusak, maka tidak seharusnya kamu menganggapnya penting."
p. 162

Obsesi dengan gebetannya di masa sekolah membuat kehidupan Sylvia jadi berantakan. Selain obsesinya terhadap gebetannya itu, dia juga terobsesi ingin jadi kurus seperti para perempuan lainnya. Perasaan obsesi yang menenggelamkan dirinya membuatnya semakin lama semakin merasa jauh dari teman-temannya—saking fokusnya dengan perasaan jatuh cintanya dan obsesinya untuk menjadi kurus. Padahal teman-temannya mungkin juga membutuhkan pertolongan dan kehadirannya.

Awalnya aku agak kesel dengan karakter Sylvia yang agak creepy dan keras kepala begitu dia sadar kalau dia suka sama Gara, aku agak TAKUT pas bacanya T___T tapi setelah aku lanjut baca, "ok lah, ternyata isi suratnya ga se-creepy yang aku pikir" malah isinya lebih mirip buku diary Sylvia tentang perasaan suka dan cintanya–merembet ke obsesi–terhadap Gara dan ambisinya untuk menjadi kurus, serta menceritakan tentang masalah-masalah yang dialami teman-temannya.

"Kadang lebih susah mencari tahu apa yang sebenarnya diri kita inginkan, daripada mencari tahu apa yang orang lain inginkan dari kita."
p. 91

Aku juga suka banget sama penggambaran karakter tiap pemeran di novel ini! Tiap pemeran tuh menurutku punya sisi dan kepribadian positif dan negatif masing-masing. Contohnya Slyvia. Beberapa sifat dan sikap Slyvia bisa aku terima dan maklumi, tapi ada juga beberapa tindakannya yang ga bisa aku terima dan tolelir. Pemeran lainnya pun begitu, seperti Andy, Layla, dan Scarlet. Karakter mereka bener-bener menggambarkan gimana emosi para remaja yang penuh rasa menggebu-gebu.

"Apakah aku peduli pada pendapat orang lain tentang diriku? Jika memang tidak, kenapa aku begitu berkeras untuk memiliki tubuh ideal versi orang lain? Tidak bisakah aku menjadi ideal seperti diriku sendiri?"
p. 165

Isu yang paling membekas di benakku dari novel ini adalah topik eating disorder dan anoreksia nervosa yang diidap Sylvia. menurutku, topik ini ga bisa dianggap remeh karna nyatanya banyak remaja melakukan hal yang sama seperti Sylvia. Aku turut sedih melihat perubahan drastis Sylvia tapi aku pun tau ga mudah bagi mereka untuk berhenti sebelum mereka puas dan melihat hasil dari usaha mereka sendiri...

"Berkali-kalı aku menanyai diriku sendiri, apakah sudah cukup? Apakah aku sudah cukup kurus untuk menjadi bagian dari dunia, terutama duniamu? Kapan seharusnya aku berhenti? Dan aku tak pernah berhasil menjawab pertanyaan itu. Tak pernah."
p. 181

abovethecloud's review

Go to review page

4.0

"Hari ini aku sampai pada kesimpulan baru, bahwa sebetulnya semua orang di dunia ini gila, dalam level yang berbeda-beda"

"Kita saling memberi nasehat satu sama lain, padahal kita sama-sama sinting"


Aaaaa aku tidak expect kalau ceritanya seperti ini, aku kira novel ini ya menceritakan surat sylvia untuk gara tpi, ternyata lebih dari itu dan membuatku sangat sedih, walaupun cerita ini dibuat dengan ringkas dan padat namun, sangat mudah mendapatkan hal2 yg ingin disampaikan dalam novel ini.

Jangan tertipu dengan awal2 part yg agak bittersweet, mengenai pengagum rahasia pada umumnya yg dimana aku sangat relate dengan sylvia huhuuu

kumomikureads's review

Go to review page

5.0

Ini tidak hanya tentang cinta, tapi juga tentang persahabatan, dan tentang penerimaan diri.
Sungguh senang bisa memberikan lima bintang penuh pada buku karya penulis lokal. (^^,)
Review lengkap akan segera hadir di blog saya. Hehe...

ulfahftryh's review against another edition

Go to review page

dark emotional sad fast-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

4.0

!!!!!!! mental illness, eating disorder, suicide attempt !!!!!!

Kalau dilihat dari sinopsisnya akan mengira kalau buku ini hanya bercerita tentang anak sekolah dengan kisah cintanya yang menye-menye. Tapi nggak, ini lebih dari itu. Ini bercerita tentang seorang anak remaja yang bernama Sylvia yang memiliki gangguan makan. 

Awalnya aku kira Sylvia ini mengidap bulimia, tapi ternyata mengidap anoreksia nervosa. Walaupun bulimia dan anoreksia nervosa sama-sama gangguan makan, tapi pengertiannya berbeda.  

Anoreksia itu penderita akan selalu merasa bahwa dirinya terlalu gemuk (mau badannya terlihat sudah kurus, dia tetap menganggap bahwa dirinya gemuk), sehingga dia melakukan diet berlebihan dan membatasi asupan makanannya untuk menghindari kenaikan berat badan.



Penderita anoreksia nervosa bisa tidak mengkonsumi makanan sampai 2 minggu lamanya, sekalinya ada makanan yang masuk, akan dikeluarkan kembali. Sedangkan bulimia, penderita akan mengkonsumsi makanan secara berlebihan, ketika dia sadar kalau sudah makan terlalu banyak, dia akan menyesalina dan makanan yang dia konsumsi akan dikeluarkan kembali. 

Ceritanya unik, dibuat dalam potongan-potongan surat yang terkirim dan tidak terkirim. Suka juga ngeliat persahabatan Sylvia, Scarlet, Layla, dan Andy, mereka peduli banget satu sama lain. 

Expand filter menu Content Warnings

readsbyra's review against another edition

Go to review page

dark emotional fast-paced

4.0

petiteshelf's review

Go to review page

4.0

4,5/5.

Kosong. Itu perasaan yang pertama kali aku rasakan setelah selesai membaca buku ini. Kejadian yang menimpa Sylvia akan menjadi renungan bagi siapapun yang membacanya—bahwa manusia sudah memiliki timeline hidup masing-masing, tak peduli jika hal yang dilakukannya itu benar atau salah. Benar atau salah itu siapa yang menghakimi, sih?

liaviestbelle's review

Go to review page

emotional sad medium-paced

3.0

snowonirori's review against another edition

Go to review page

4.0

I didn't know it would be so heavy to read. Aku memang biasanya ngga ngecek trigger warning sebelum baca, karena takut ke spoiler, but yes it def my fault tho.

Aku bukan orang yang pernah mengalami, juga belum (semoga tidak) bertemu orang yang mengalami. Tapi aku paling cerewet kalo urusan diet yang sampe bikin nyiksa. Semua aku omelin termasuk ibuku dan bapakku kalau mereka kurang makan. Jujur, aku belum tau pengobatan apa untuk penyakit ini, pastinya juga perlu konsul ke psikiater karena untuk mereka yang rusak adalah pola pikir mereka yang membuat diet menjadi tak sehat.

Dulu aku juga pernah suka dengan orang. Sampai kepikiran untuk mempercantik diri hingga temanku menyindir "kamu pengen kurusan gara2 dia ya?" Saat itu aku hanya tertawa. Sekarang mungkin pemikiranku itu konyol sekali. Buat apa sampai mengubah diri sendiri hanya untuk orang lain, yang bahkan tidak peduli dengan kita?

Banyak hal hal yang aku gak sreg dengan Sylvia, tapi aku ngga mungkin nge judge dia karena aku belum pernah mengalami. Aku malah dapat insight baru, oh ini yang akan terjadi kalau kita ngga mengendalikan diri. Sylvia tau dia salah, yang dia lakukan itu ngga bener, tapi dia tetep tenggelam dalam itu seakan menghukum diri sendiri. Orang yang udah ada di state itu kecil kemungkinan punya kesadaran untuk minta tolong. Jadi ada kemungkinan salah di teman2 terdekatnya juga yang kurang aware.

Dari awal aku juga ngga sreg dengan hubungan Sylvia Gara ini. Mereka ini cuman teman atau apa? Klise memang. Jatuh cinta dengan teman sendiri tapi merasa ngga pantas dengannya jadi dipendam sendiri dan patah hati sendiri. Kalau begini yang disalahkan siapa?

Semoga kita semua bisa berhenti membuat versi ideal dalam segala hal dan bisa mulai mencintai diri sendiri

haifarania's review

Go to review page

4.0

Usut punya usut, Sylvia’s Letters sebenarnya adalah novel yang tidak sengaja kutemukan saat sedang sibuk mengobok-ngobok ipusnas untuk menemukan bacaan penghilang gabut. Dan siapa yang menyangka bahwa novel penghilang gabut ini ternyata benar-benar melampaui ekspektasi?

Seperti judulnya, Sylvia’s Letters menggunakan format berupa surat-surat untuk menunturkan kisah. Jarang-jarang sih aku menemukan novel lokal dengan gaya penyampaian seperti ini, dan mungkin hal itu jugalah yang membuat Sylvia’s Letters punya keunikan tersendiri. Omong-omong, aku benar-benar menyukai diksi dalam novel ini. Narasi yang disuguhkan dalam Sylvia’s Letters terasa seperti paket lengkap, mulai dari adanya pembahasan topik berbobot, humor dan sarkas yang bikin meringis, sampai sisi baper dan emosional yang sukses membuatku nggak bisa berhenti membalik halaman.

Konfliknya lumayan padat dengan mengusung banyak isu dan problematika di kalangan remaja. Malah mungkin, Sylvia’s Letters termasuk novel remaja paling padat yang pernah kubaca, di mana hampir semua tokohnya menyimpan masalah mereka masing-masing. Isu kesehatan mental seperti anorexia, pergaulan bebas, atau bahkan hal-hal semacam sibling rivalry dan pencarian jati diri rasanya lebih dari cukup untuk membuatku kenyang saat baca buku ini.

Sebaliknya, aku merasa bahwa 200 halaman saja tidak cukup untuk menyorot para tokohnya. Nggak tahu kenapa, tapi tokoh-tokoh di novel ini rasanya begitu relatable dengan kehidupan nyata. Tanpa sadar, aku bahkan ikut-ikutan senyum dan ngakak waktu membaca interaksi para tokohnya yang memang remaja banget. Bicara tentang tokoh, favoritku jatuh pada Andy, yang walaupun rada berandal tapi entah kenapa sukses bikin gemes sendiri.

Terakhir, untuk ending-nya. Jujur, aku kehabisan kata. Rasanya ada menit-menit hening di mana aku cuma melongo setelah selesai membaca halaman-halaman terakhir. But, meski demikian, menurutku akhir buku ini ditutup dengan cukup bagus. Ada kesan menyentuh dan juga miris di saat bersamaan, apa lagi setelah membaca email dari Gara yang … yah begitulah :’)

Terlepas dari semua kelebihan yang sudah dibeberkan, menurutku kekurangan Sylvia’s Letters ada pada penyuguhan konfliknya yang memang kelewat "rame". Barangkali karena buku ini sendiri gak terlalu tebal, sehingga rasanya ada beberapa konflik yang dibiarkan gantung dan seolah hanya jadi tempelan. Agak disayangkan sih, padahal menurutku ada cukup banyak isu menarik yang mungkin bakal lebih berkesan jika dibahas lebih dalam.

Tapi yah, secara keseluruhan novel ini benar-benar kece kok. Salah satu dari sekian banyaknya novel yang berhasil kutamatkan dalam sekali duduk :)

moilady's review

Go to review page

emotional sad medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

5.0

Sejujurnya, aku gak niat-niat banget waktu baca buku ini. Betulan iseng karena nunggu buat baca buku lain. Jadi, aku gak menaruh ekspektasi yang gimana-gimana. Bahkan aku sendiri gak sempet buka-buka review tentang buku ini.

Modalku baca buku ini cuma satu: pacarku baca buku ini duluan dalam sekali duduk dan aku penasaran sama isi bukunya karena it means that this book has got his attention sampai-sampai baca bukunya sekali langsung selesai.

Aku juga udah sempat dikasih warning tentang isi bukunya yang berkaitan sama mental health, tapi ya justru itu yang bikin aku penasaran.

Awalnya aku kira buku ini bakalan penuh sama isi-isi cerita tentang anak SMA yang manis, tapi ternyata isi bukunya lebih gelap dari itu. Betul-betul gelap, yang mana aku kira isu mental health yang ada di buku ini gak akan seberat itu. Sayangnya, aku justru dibuat mental breakdown.

Aku gak bisa bayangin kehidupan anak umur enam belas tahun yang begitu pelik, tapi justru hal itu adalah sesuatu yang nyata, yang mungkin benar-benar ada di sekitar kita,
salah satu contohnya adalah ketika Anye─adiknya Scarlet yang masih berumur tiga belas tahun itu hamil
, mungkin kita akan berpikir bahwa, "Memangnya ada, ya, kasus seperti itu?"

Kenyataan pahitnya, ada. Dan aku pernah melihat salah satunya.

Sepanjang baca buku ini aku dibuat bengong, baca, bengong, baca, bengong, baca, gitu terus secara berulang. Ada marahnya, ada sedihnya. Rasanya aku ingin sekali marah sama Sylvia, tapi di satu sisi aku mengerti dan paham kenapa dia sampai bisa berada di titik itu. Buku ini bisa dibilang menggambarkan gimana kejamnya hal-hal yang mungkin aja orang-orang menganggap itu adalah hal yang 'biasa' atau sesuatu yang sudah menjadi sebuah 'standar' kehidupan, nggak cuma dalam masyarakat, tapi justru dalam lingkungan yang seharusnya menjadi tempat ternyaman bagi kita; rumah. Tapi, justru sesuatu yang 'biasa' dan 'standar' itu yang menjadi cikal bakal kehancuran seseorang.

Dan itu bikin perasaanku benar-benar campur aduk. Sedih, marah, kasihan, menyesal. Semuanya ada di satu buku ini, dan anehnya aku bisa merasakan seluruh emosi yang digambarkan dari setiap orang yang ada di dalam buku ini. 

Expand filter menu Content Warnings