Reviews

Ronggeng Dukuh Paruk by Ahmad Tohari

firstyakn's review against another edition

Go to review page

dark emotional sad medium-paced

5.0

arts's review

Go to review page

adventurous challenging dark emotional mysterious sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.5

bilfy's review

Go to review page

4.0

membaca ini rasanya harus selalu nrimo ing pandum karena Srintil dalam bahasa jawa itu artinya tai kambing. aduh tapi sakit hatiku mengikuti perjalanannya. ada yang kurang di beberapa titik cerita. tak apalah. masih bagus!

ulyazmh's review against another edition

Go to review page

5.0

Tentang tradisi dan perubahan. Tentang Srintil, sang ronggeng kebanggaan Dukuh Paruk, tentang pilihan hidupnya dan hidup yang “dipilihkan” untuknya.

Buku ini ditulis dengan indah dan penggambaran suasana yang sangat apik. Setiap kalimat kubaca dengan saksama dan aku merasa betah untuk berlama-lama meniti tiap kata yang ada di dalamnya.

momocaaa's review

Go to review page

dark emotional tense medium-paced

5.0

cintantyasr's review

Go to review page

5.0

Pantaslah kalau novel ini menjadi karya sastra legendaris Indonesia.

Saya menilai sebuah buku biasanya bagaimana plot awal, di tengah, dan akhir menuju ending. Biasanya buku bagus diawali dengan bab awal yang menarik (nilai mutlak), kemudian di tengah agak membosankan atau sangat membosankan, dan kemudian akhir cerita yang menjadi penentu apakah buku ini benar-benar bagus atau tidak. Buku ini memiliki bagian awal yang alami dan indah, bagian tengah yang meskipun saya akui agak membosankan (layaknya buku sastra dengan pembaca dengan kemampuan 'rata-rata' kayak saya :p) tetapi masih menarik untuk diikuti, dan dibagian akhir ketika Rasus bermonolog tentang dirinya seakan menjadi sebuah babak akhir yang sangat sangat menyentuh. Akhir buku ini yang entah kenapa menjadi begitu hidup menjadi obat dari kebosanan saya membaca bagian tengah buku ini, melengkapi kesempurnaan buku ini.

Karakter Srintil yang seorang wanita cukup kuat digambarkan oleh Penulis yang adalah seorang laki-laki. Sedangkan karakter Rasus yang menjadi pendamping Srintil begitu dalam emosinya, sampai saya menjadi kagum sendiri dengan kejujuran; keberaniannya; dan pemikirannya dalam kepolosan seorang penduduk dari pedukuhan terpencil.

Pada intinya, buku ini menurut saya, memiliki makna rasa cinta dan kasih sayang yang begitu dalam antara dua orang manusia yakni Rasus dan Srintil (terutama Rasus sebagai lelaki) yang dibumbui dengan mempertahankan harga diri, kebudayaan sosial masyarakat pedesaan (menjadi cermin masyarakat Indonesia sesungguhnya sebelum datangnya modernitas), pengorbanan, dan perjuangan hidup.

Tidak pintar memang saya mendeskripsikan dengan kata-kata tentang buku ini. Lebih baik jika memang ingin membaca karya sastra Indonesia haruslah buku ini dijadikan bacaan wajib karena tidak akan kecewa untuk melahapnya sampai habis.

riskapoetryayu's review

Go to review page

4.0

Selesai baca Ronggeng Dukuh Paruk sekali duduk. Adatnya sangat merugikan perempuan, kebodohan dan kemalasan warganya, mewajarkan jual beli keperawanan, ugh

higanbanaya's review

Go to review page

challenging dark tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

smolgalaxybrain's review

Go to review page

dark emotional reflective sad medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? No

4.0

sapiensblud's review

Go to review page

5.0

Dukuh Paruk is a victims of political strife in transition to a “new elite power”. Pada masa orde lama, PKI mencapai puncak keemasannya. Mereka para komunis ingin memperjuangkan hak rakyat dan yang dalam cerita ini, Bakar merupakan sumber utama yang melibatkan Dukuh Paruk tenggelam dalam suasana perang dingin politik dengan memanfaatkan kesenian ronggeng dalam propagandanya untuk menarik simpatisan orasi komunis. Nahas, kehancuran komunis dalam tuduhannya yang melakukan G30S membawa pedukuhan kecil itu ke jurang kehancuran pula.
Well, perhatianku di sini selalu terpaku sama manusia di Dukuh Paruk dan pola hidupnya. Di kehidupannya, mereka gak mengenal tulisan apalagi kenal sama partai-partai yang marak pada saat orde lama yang bikin beberapa diantara mereka terlibat aksi 1965 dan dipenjara. Orang pedukuhan itu hidup dan survive dengan caranya sendiri, meski penuh dengan kebodohan, kemelaratan, cabul dan nilai abstraknya tentang kehidupan yang harus “terima apa adanya”.
Buku ini menyinggung tentang kekisruhan sejarah dan kecongkakannya di atas hidup manusia, kesenjangan sosial yang transparan, patriarki, dan feminisme. Aspeknya sangat dekat sama kehidupan kita sehari-hari, hebatnya Tohari berhasil meringkas hal itu dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Diksinya indah, bener-bener indah! Nyaman dibaca meski harus bolak-balik KBBI. Mungkin udah jadi ciri khas tertentu buat Ahmad Tohari deskripsiin apa yang ada di sekitar cerita serta suasananya. Agak membosankan, tapi aku tetep enjoy karena deskripsi yang diutarakan justru menjadi titik temu masalah demi masalah. Dan juga, dari deskripsinya kita bisa ikut merasakan gimana kentalnya adat Jawa tahun 1960-an. Jujur, awalnya agak kaget karena Tohari bener-bener sering nulis “Asu buntung” sebagai ciri khas ucapan di pedukuhan... but it’s ok, i still luv this book