Reviews

Lukacita by Valerie Patkar

madelihn's review

Go to review page

5.0

Buku berjumlah 443 halaman ini bisa dibilang paket lengkap. Buku ini bicara banyak tentang proses mencari dan menemukan, proses menerima dan merelakan. Gak hanya bicara soal relasi interpersonal, lika-liku percintaan, ambivalensi persahabatan, dan konflik dalam keluarga, tapi terlebih lagi membicarakan perjalanan seseorang menemukan dirinya sendiri. Apa sih yang ada di dalam pikiranmu? Apa sih yang kamu rasakan? Siapa kamu sebenarnya?

Banyak hal menarik yang diangkat oleh Valerie Patkar. Isu learning disorder (dyslexia), identity, self-worth & self-esteem, dysfunctional family, unaccepting & intolerance parents, acceptance, trust, dan masih banyak aspek lainnya yang dikemas dalam cerita yang begitu mengalir. Aku setuju dengan salah satu reviewer di goodreads yang mengatakan ini seperti novel self-improvement. Definitely a page turner sih buatku! ⭐ 4.75/5

Lewat buku ini aku:

thehecticdays's review

Go to review page

4.0

javier killian sjahlendra. nama lo

labelala's review

Go to review page

5.0

Suka banget sama Utara dan Javier momentnya ga bosenin, kocak asli tingkah mereka berdua. Walaupun ada sedikit cerita yg sedih mereka berdua

aliferuz's review

Go to review page

5.0

It's my second fave of Valerie's books after Serangkai. Valerie never fails to give us complicated characters. Javier dengan idealismenya yang nggak jarang bikin orang gedeg tapi di saat yang bersamaan pula bikin orang respect sama dia. Utara, rasanya mayoritas kita pernah berada di posisi dia. Membenarkan apa yang orang lain pikirkan tentang kita sampai kita mengerdilkan diri, bahkan membenci diri sendiri. Kompleksitas karakter manusia tercermin di setiap tokoh dalam buku ini. Tidak hitam dan putih, tapi tidak juga abu-abu. Dunno, I also don't have any idea how to describe it. Dari closure yang didapatkan oleh tokoh-tokoh di buku ini, saya menyimpulkan kuncinya adalah satu. Menghabiskan kemarahan kita terhadap keadaan, melepaskan apa yang tidak bisa dipertahankan, dan belajar menerima serta menjalani hidup yang ada di depan kita.

magic_inside_cat's review

Go to review page

medium-paced

4.5

bookwormdaily's review

Go to review page

3.0

 “Gue lelah untuk terus menerus membuat diri gue terlihat lebih baik di mata orang lain. Gue lelah untuk memberi tahu mereka kalau gue juga berjuang, gue juga berdarah-darah, gue juga kesepian, gue juga berusaha. Sampai akhirnya gue terbiasa. Terbiasa membiarkan keadaan menyalahkan gue hingga gue lupa bagaimana rasanya menjadi seseorang yang dianggap benar. Yang dihargai perasaannya, yang diapresiasi keberadaannya.” 

this book is not your typical romance novel because the story itself is pretty complex. 

buku ini tentang bagaimana berdamai dengan diri sendiri, tentang passion yang harus diinterupsi untuk memuaskan orang lain bukan diri sendiri. banyak masalah dari karakter di buku ini yang relate sama kehidupan dan nyata diimajinasikan. aku suka setiap karakter bukan hanya karakter utama-nya. side characternya punya cerita mereka sendiri-sendiri dan membuat mereka jadi unik dan reasonable untuk ditaruh di buku ini. 

but despite all the things i love about this book, menurut ku buku ini terlalu panjang. ada banyak percakapan dan masalah yg penyelesaiannya terlalu bertele-tele sehingga jadi membosankan di beberapa bagian. 

jeje_jen's review

Go to review page

3.0

Ceritanya bagus, tapi ada beberapa hal yg membuatku terganggu.

[MIGHT CONTAIN SPOILER]
1. Writing style nya nggak terlalu cocok sama aku
2. Pergantian sudut pandangnya agak mengganggu. Menulis menggunakan dua sudut pandang orang pertama itu challenging, dan di buku ini aku kadang bingung, ini suaranya siapa? Terus ada beberapa bab yang sangat singkat, yang bikin aku tambah bingung, lho ini udah ganti POV?
3. Ada beberapa kata yang hilang (?) yang bikin makna kalimatnya jadi nggak tepat. Dan ini terjadi cukup sering
4. Aku lumayan jadi grammar nazi pas baca ini
5. I like Tara, but I can't stand Javier. Menyebalkan dan sangat sulit dimengerti. Tukang maksa juga. Dia langsung daftarin Tara ke pelatihan catur mandiri tanpa persetujuan Tara. Terus di bab terakhir si Enzo bilang ke Tara kalo Javier menghargai keputusan Tara untuk pergi. Aku langsung mikir, "lah kan situ yg mutusin Tara? Situ yg nyuruh Tara pergi???"

ppaperreads's review

Go to review page

emotional hopeful lighthearted reflective relaxing medium-paced

4.5

windireads's review

Go to review page

emotional hopeful lighthearted reflective sad medium-paced

3.75


Expand filter menu Content Warnings

itsherbook's review

Go to review page

3.0

Luka Cita

Valerie Patkar
Penerbit Bhuana Sastra
440 hlm

Sebagai orang yang kurang nyaman membaca ketika cara panggilnya "Lo Gue" dalam sebuah buku fiksi, kali ini 'gapapa deh'. Mungkin karena aku sendiri ngga terbiasa pakai panggilan itu kali ya jadi merasa kurang dalem aja nyampenya setiap dialog di aku. Tapi Luka Cita lumayan banyak meninggalkan kesan baik lainnya-yang bikin aku ngga mempermasalahkan lagi tentang logue ini. Hahaha

Tipe bacaan yang ringan-ga ringan, diceritakan dengan simpel tapi isi ceritanya lumayan berat, jadi ada kala setelah baca beberapa halaman aku diam, mengawang-awang, memantulkan jalan cerita yang dialami Tara dan Javi ke aku. Karena keresahan yang diceritakan di buku ini beneran beberapa kali sliweran di kepalaku, terlebih di usia 24-25 tahun belakangan ini. Tentang tujuan, tentang cita-cita, tentang keberanian, tentang rasa takut dan tentang cinta.

Seringnya pergantian sudut pandang orang pertama di buku ini buat aku pribadi kurang suka ya-karena aku tidak punya ruang menebak perasaan tokoh lain, semuanya terpampang jelas, tidak ada ruang untuk merasakan rasa sedih atau rasa senang lebih dalam karena seolah terbatasi oleh fakta yang dibeberkan di pergantian karakter (yang berkali-kali) itu.

Overall, jalan cerita buku ini bagus, meski cara penulisan dan cara berceritanya bukan tipe yang aku suka hehehe.
Oh ya, ada banyak kalimat yang aku highlight karena bagus dan sedalem itu.

"Gue sadar kalau menyerah nggak selamanya buruk. Dan bertahan, nggak selamanya menjadi satu-satunya opsi kita dalam menjalani hidup."