Reviews

Life as Divorcee, by Virly K.A.

marinazala's review

Go to review page

4.0

** Books 08 - 2021 **

Buku ini untuk menyelesaikan Tsundoku Books Challenge 2021

3,5 dari 5 bintang!


Buku ini memuat kisah pernikahan mbak Virly yang tidak seindah seperti biasanya yang berakhir dengan perceraian. Di indonesia kata perceraian masih dianggap tabu untuk dibicarakan namun saya sungguh angkat jempol dengan keberanian mbal virly untuk membahas masalah ini

Selain itu yang saya suka buku ini membahas hal-hal apa yang perlu dibicarakan ketika sebelum menikah, apa yang dilakukan ketika mendapat KDRT, apa itu menikah muda, masalah toxic-abusive relationship juga dibahas dalam buku ini

Jujur membaca buku ini membuat saya yang belum menikah menjadi tercerahkan bahwa menikah itu tidak mudah banyak hal yang perlu dipersiapkan terutama mental dan finansial. Saya berharap semakin banyak buku2 serupa begini di indonesia agar membuat pembaca yang menginginkan untuk segera menikah dapat menyiapkan segala sesuatunya lebih baik lagi karena ingat menikah bukan hanya menyatukan isi dua kepala namun menyatukan dua buah keluarga besar dan isinya.

Terimakasih Demabuku!

cameliawithbooks's review

Go to review page

4.0

Menurutku bukunya emang tipis tapi isinya padat penuh informasi. Dan informasinya bukan hanya tentang kehidupan penulis setelah bercerai saja. Ada juga informasi untuk pasangan sebelum memutuskan untuk menikah. Bahkan jika terjadi hal diluar keinginan, seperti hamil diluar nikah, bagaimana menyikapinya. Juga terdapat informasi tentang pasangan yang sudah menikah, namun mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari pasangan, maka apa yang harus dilakukan.

meitaeryanti's review

Go to review page

informative fast-paced

3.75

 
Ini adalah salah satu buku yang aku buka plastiknya berbulan-bulan yang lalu tapi tidak segera aku selesaikan membacanya. Melihat judulnya: Life as Divorcee, aku tadinya berharap bisa membaca sebuah cerita personal penulis. Ternyata enggak seperti yang aku bayangkan :-))

Tulisan dalam buku ini disusun berdasarkan pengalaman dan perenungan penulis. Aku membayangkan penulis akan memasukkan referensi dan menggabungkannya dengan pengalaman dia. Sayangnya enggak seperti itu.

Misalnya dalam tulisan berjudul Pre-Marriage Talks I Didn’t Do. Penulis tidak menyebutkan darimana referensi poin-poin pre-marriage talks itu dia dapatkan dan tidak dijelaskan juga apa dampak tidak membicarakan poin tersebut dalam pernikahannya. Tulisan ini malah menjadi terkesan menggurui karena subjeknya menjadi “kamu”.

Secara keseluruhan, buku ini menarik karena membahas hal-hal yang sebenarnya perlu dibicarakan tetapi tidak populer malah cenderung tabu. Tentang betapa banyaknya, hal yang harus dipikirkan oleh seseorang (terutama perempuan) ketika memutuskan untuk menikah atau bercerai.

 

dinneread's review

Go to review page

4.0

Rtc~

alfath's review

Go to review page

4.0

Sebenarnya, label apapun pada perempuan, saya tidak ambil pusing. Saya sudah berada pada tahap berupaya mengurangi berbicara tentang orang lain. Hanya saja, saat status divorcee disandang salah satu kerabat saya, dua keluarga besar termasuk saya jelas shock setelah mendengar kabar itu.

"Let's normalize being divorcee!"

Kalimat itu mendorong saya untuk membeli buku ini. Saya ingin tahu apakah buku ini mampu meredakan kejengkelan saya atas perubahan status satu kerabat saya menjadi divorcee. Hanya saja... setelah saya baca² kondisi penulis dengan kerabat saya tidak sama. Kerabat saya jauh lebih tua, anak² sudah lebih 12 tahun, dan memiliki alasan bercerai berbeda.

Setelah membaca buku ini wawasan saya bertambah. Perjalanan hidup penulis ditambah pandangan²nya tentang hal² tertentu cukup memberikan gambaran bahwa "oh solusi seperti itu bisa ada" atau malah mencukupkan diri berkomentar "oh begitu ya...tapi tidak bisa dipakai karena bla..bla..bla.." Paling tidak, apa yg tertulis dalam buku ini bisa mereduksi kejengkelan saya pada seorang divorcee. Dari sekedar "saya merasa jengkel" menjadi "ya sudahlah... itu sudah keputusan dia."

Apapun sebabnya, seorang divorcee sudah secara sadar untuk berpisah dengan pasangannya. Kita orang lain...ya cuma memaklumi saja. Harus lebih realistis dalam memandang apa yg kita lihat baik belum tentu baik di mata para pasutri.

krammedshelf's review

Go to review page

reflective fast-paced

3.0

chemistreads's review

Go to review page

3.0

Pada mulanya gw tertarik, karena penulis berani menelurkan tulisan di topik yg masih sensitif untuk diangkat, tentang normalisasi perceraian, menjadi janda, terlebih di usia muda, sesuatu yang di masyarakat umum lazim diberi label atau stigma yang kurang baik. Selain itu, isinya sebenarnya bagus juga, penulis memberikan tips-tips practical dan mengangkat isu yg mungkin masih belum lazim dibicarakan calon pengantin seperti pre-marriage talk, atau pengetahuan yang tergolong baru kalau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) itu tidak hanya secara fisik, mental dan/atau seksual saja, tapi ada secara finansial juga. Satu hal yang membuat gw urung memberikan rating minimal 4 adalah karena semakin ke belakang gaya penulisannya seolah 'menggiring opini' pasangan sudah menikah yang sedang berada di fase di ujung tanduk pernikahan untuk condong memilih 'menyerah' dibandingkan 'berjuang mempertahankan'. Pada akhirnya, hal ini kontradiktif sama ide bagus penulis di awal (ide utama). Perceraian mungkin tidak selamanya buruk, tetapi bukan berarti menyerah adalah satu-satunya pilihan yang baik.
More...