Reviews

Semusim, dan Semusim Lagi by Andina Dwifatma

mirainikki's review

Go to review page

3.0

bacanya kayak naik roller-coaster. kayak yang ikutan sinting bukan cuman 'aku' tapi juga aku (sebagai pembaca)

tiareadsbooks25's review against another edition

Go to review page

4.0

•recently read•
4/5⭐

❝Tetapi, senja sama belaka dengan semua hal di dunia ini: suatu ketika harus berakhir…
Kurasa itulah yang membedakan senja dengan ‘semua hal di dunia ini’. Amatlah mudah berpisah dengan sesuatu yang kautahu akan kembali lagi keesokan harinya. Tetapi di dunia nyata, setiap hal yang kaulepaskan akan pergi darimu tanpa pernah kembali lagi.❞
—Page 62

❝Jawabannya tertiup di angin. Itu bisa bermakna bahwa jawaban yang kaucari telah begitu jelas, seolah-olah ada di depan wajahmu seolah-olah ada di depan wajahmu sedari tadi, hanya kau tak menyadarinya. Kebanyakan manusia seperti itu. Karena sibuk emncari di luar, ia tidak menyadari apa yang dicarinya sudah ada dalam diri sendiri.❞
—Page 102

•••

Buku ini menceritakan kisah tokoh 'Aku', gadis berusia 17 tahun yang baru lulus SMA. 'Aku' memutuskan pergi ke Kota S yang asing setelah menerima surat dari ayah yang tak pernah ia jumpai sejak kecil. Tanpa sepengetahuan ibunya, 'Aku' pun berpetualang di Kota S dan bertemu orang-orang yang tak terbayangkan. Dari mulai J.J. Henri, Oma Jaya, Muara, Sobron si ikan raksasa, dan tentu saja sang ayah yang telah ia nantikan.

Hmmm... Jujur, aku masih kesulitan memproses cerita yang menjadi pemenang pertama Sayembara Menulis Novel DKJ 2012. Awalnya, aku kira buku ini akan bercerita tentang pencarian jati diri dari tokoh 'Aku'. Nyatanya aku salah besar! Menurutku, ceritanya begitu absurd, apalagi sejak kemunculan Sobron.

Buku dengan genre surreal fiction ini cukup membuatku kebingungan dan mempertanyakan berbagai hal. Bahkan hingga aku mencapai halaman terakhirnya, masih banyak misteri yang belum terjawab.

Buku ini sangat page-turner karena narasinya yang begitu detail, intens, dan eksploratif! Aku membaca buku ini dalam 2x rebahan—kemarin malam sebelum tidur dan tadi siang—dan tiba-tiba saja bukunya selesai! Aku dibuat penasaran untuk cepat-cepat menyelesaikan buku ini dan menebak-nebak bagaimana akhir kisah si tokoh 'Aku'. Ketika menutup buku ini, perasaan-ku pun campur aduk. Like, what the heck did I just read?

bungadinding's review

Go to review page

3.0

Gimana ya. Kesanku selama membaca: buku ini seolah ditulis keroyokan sama Colin Singleton-nya John Green dan Meursault-nya Camus. Tapi di pertengahan, Colin ngilang lalu digantiin Esther Greenwood-nya Sylvia Plath, trus doi sama Meursault lanjutin buku ini sampai tamat dengan Meursault yang lebih dominan. Bahkan sampai kalimat paling akhir pun otakku serasa masih teriak-teriak, "Meursault! Ini mah Meursault banget!"

Mungkin karena emang belum lama ini aku baru baca The Stranger dan masih kebayang-bayang ceritanya (dan masih berusaha--tapi belum sepenuhnya--paham juga), juga karena The Stranger & The Bell Jar (dan sejumlah buku & referensi lain, lupa apa aja) disebut sepintas dalam buku ini, seolah pengarang emang ngasih clue ke pembaca bahwa dua buku itu termasuk yang mempengaruhi ceritanya ini. Tapi yaa, gimana ya =)). Sebenernya aku suka plotnya, ada sentuhan filsafat absurdisme sama psikologinya. Aku pasti kasih bintang lebih andai buku ini nggak melulu malah ngingetin aku sama cerita-cerita lainnya daripada bikin terhanyut ke dalam cerita itu sendiri. Rasanya kadar orisinalitasnya jadi berkurang. Atau mungkin sebenarnya ada makna tersembunyi kenapa pengarang sengaja bikin plotnya demikian, cuma aku yang nggak paham... entahlah.

febnalae's review

Go to review page

dark emotional mysterious sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? No

3.75

Okay, where do i start. This book started off with the explanation of the relationship between "Aku" and her mother, who don't act like daughter and mother at all. They're not close to each other, and she even said that their relationship is like two strangers living under the same roof together. Also, Aku has never knows her father all her life. 

Then suddenly she received the letter and went to another city to meet her Father but she must wait first. The she met J.J. I like J.J. actually, he's like a chill old guy. BUT HIS SON, MUARA, I HATE HIM. he is a freaking 22 years old guy who groomed the main character who is only SEVENTEEN. he said he felt guilty for kissing her because he already has a girlfriend but guess what HE DID IT AGAIN AND HE EVEN SLEPT WITH 'AKU'. BUT THEN HE HAD THE AUDACITY TO SAY ALL THAT WAS A MISTAKE?! WHICH PART IS A MISTAKE WHEN YOU DID THAT MANY TIMES AND SOBER?! 

and to be honest, when 'aku' said she was pregnant because a fish told her so, i believed her. that's the magic of Andina Dwifatma's writing in my opinion. Her writing is so.....hypnotizing? like people must have thought that 'aku' is delusional but I BELIEVED HER. 

and tbh i was confused about where this book was actually taking me to, because main purpose was actually for the main character to meet her father but then it turned into something INSANE that i couldn't even imagine. 

I still have difficulty to form a line about what does the book trying to bring up. But i thiiiink, this book might be about a teenager's life that went into something unimaginable.

i know 'aku' did something insane, but coming from where she is from—bad relationship with her mother, has never known her father since birth, being groomed by a man who she thought was the love of her life but he has never loved her not even a bit, believed that she was pregnant and he didn't want to take responsibility. everything is just hard for her.

reading everything that happened was like a rollercoaster ride but instead of going up and down, the rollercoaster just keept going up and up and up and made you breathless and not even a second for you to take a break.

the ending was kinda okay, finally where i could finally breathe. but still questionable because where has the dad been? has he really been ill? does he still accept his daughter fully even after what she has done? i still have a lot to ask.

this book is not bad, but i just feel like it lacks something to me that makes it less perfect than it should've been.

layeredcloud's review against another edition

Go to review page

Girl talked way too much about irrelevant things to the point that I no longer give a fuck about why their parents did what they did.

I didn't even get to chapter 4 because the writing style really pissed me off. Name-dropping and info-dumping once or twice is fine, but constantly? Please just kill me already.

snowonirori's review

Go to review page

3.0

Ceritanya menurutku ngga beda dari khayalan kita waktu sakit atau biasanya orang awam menyebut fever dream. Jujur aku suka sama penyampaian ceritanya, bener2 page turner. Tapi setelah itu rasanya kosong. Persis ketika kamu mencapai sesuatu terus ngga tau lagi apa yang harus dilakukan. Yah begitulah novel dengan genre surrealism. Menurutku ada beberapa hal yang agak kurang nyaman dan jujur aku juga membenci tokoh utama, terutama dari sikapnya. Sosok si ayah juga terlalu diagungkan padahal kita hanya bertemunya di akhir saja (memang aku tidak pernah mengalami baru bertemu bapak diumur 16)

yuusasih's review

Go to review page

3.0

Dan akhirnya Sayembara Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2012 menghasilkan pemenang di ranah magical-realism/surreal-fiction. Yaaaaaaaaay!

Saya sangat suka novel-novel dalam genre ini, seperti novelnya Haruki Murakami, Kafka, Jostein Gaarder, etc. Saya menggilai genre ini, jadi tentu saja, begitu ada novel pemenang DKJ yang katanya dari genre ini, saya langsung memutuskan untuk beli seketika.

Novel ini bercerita tentang Aku, seorang anak tamatan SMA yang berencana melanjutkan kuliah di jurusan sejarah karena hobinya pada ilmu satu itu semenjak kecil. Tapi suatu hari, bersamaan dengan kedatangan surat penerimaannya di universitas tempatnya mendaftar, datang pula sebuah amplop yang ternyata berasal dari ayahnya yang belum pernah ditemuinya (atau sudah pernah, tapi tak diingatnya). Karena ingin menemuinya, akhirnya si Aku meninggalkan ibunya untuk pergi ke tempat ayahnya tinggal di kota S. Di sana, dia bertemu dengan orang-orang yang tak pernah dikenalnya, bersamaan dengan kejadian-kejadian aneh yang mulai terjadi di sekitarnya.

Sarat muatan (tokoh) filsafat, seperti Sartre, Nietzsche, dll. Ada banyak tokoh terkenal yang karyanya dipreteli dan dimaknai di dalam novel ini, meskipun mungkin membuat novel ini jadi terkesan sebagai filsafat yang dinovelkan, bukan novel yang difilsafatkan, dengan banyaknya quote-quote tokoh terkenal yang dimasukkan dan penjelasan-penjelasan yang (bagi saya) terkesan menggurui (atau sekadar menunjukkan bahwa yes, I've read all those books and listen all those songs I quoted while you don't). Juga ada berbagai macam simbolisasi yang, kalau bisa dimengerti, menjadi cues-cues kecil dari novel ini (terutama mas koki. Splendid!).

Sayangnya, ada satu hal utama yang menghalangi saya untuk menikmati buku ini secara utuh, yaitu tokoh utamanya. Mungkin ini masalah selera, atau mungkin karena saya terlalu terbiasa. Jika saya membaca novel dengan genre sejenis, entah itu Murakami, Kafka, atau Gaarder, saya selalu menemukan tokoh utamanya sebagai seseorang yang 'blank', alias hampa total. Tokoh utamanya benar-benar kosong dari prasangka ataupun penilaian macam apa pun terhadap dunia, kecuali observasi murni. Pun jika ada penilaian atau paradigma yang diberikan, biasanya itu datang dari pihak eksternal.

Saya, jujur saja, lebih nyaman membaca novel surreal/filosofis dengan tokoh macam itu. Bagi saya inti utama dari filosofi adalah dengan membiarkan semua hal menjadi dapat dipertanyakan (dan bukankah Sobron juga menyatakan demikian?). Jadi dalam novel dengan muatan filosofi (apalagi filsafat eksistensialis macam ini), bagi saya lebih pas jika karakter utamanya pun sudah disiapkan untuk berfilosofi. Dan yang membuat saya tidak menyukai tokoh utamanya adalah karena dia 'tidak siap berfilosofi'. Dia tidak benar-benar kosong (walau sepertinya diniatkan sebagai tokoh kosong) karena sejak awal dia sudah mempunyai sudut pandang tersendiri terhadap banyak hal (contohnya, terhadap orang-orang yang tidak mempertanyakan sejarah, terhadap rumah sakit jiwa, dll).

Kedua, tokoh Aku ini seorang pembaca buku. Ini murni selera pribadi, karena, aduh, saya sudah bosan sekali dengan formula pemikir ulung/perenung/filsuf yang adalah pembaca buku yang hobi mengurung diri di dalam rumah. Traveller juga bisa menjadi pemikir, penulis bisa jadi pemikir, pelacur juga bisa! (heck, bahkan Wittgenstein saja yang orang saklek matematika juga jadi filsuf/pemikir, bahkan disebutkan di dalam novel) Jangan salah, saya sendiri seorang kutu buku yang hobi mengurung diri di kamar untuk membaca, tapi yah, lagi-lagi ini masalah selera, karena buat saya formula filsuf/pemikir=kutu buku is kinda outdated for me. :/

Tapi saya akui, menulis novel filsafat, terutama eksistensialisme, itu susah. Jadi, tiga bintang untuk pencapaiannya. :D

itzreibrary's review

Go to review page

3.0

Cerita bermula saat tokoh Aku, seorang gadis remaja 19 tahun, mendapat surat dari seseorang yang mengaku ayahnya. Ibunya, yang selama ini selalu dingin dan berjarak, memberinya izin untuk pergi menemui sang ayah lalu ia menghilang begitu saja. Maka Aku pun berangkat ke kota S. Di sana ia disambut oleh seorang lelaki bernama J.J. Henri, yang mengaku pegawai sekaligus teman ayahnya. Ayah si Aku ternyata sedang sakit dan dirawat di rumah sakit, sehingga Aku sementara tinggal sendirian di rumah sang ayah sambil menunggu kondisi ayahnya membaik. J.J. Henri memperkenalkan putranya, Muara, pada Aku. Mereka segera cocok karena memiliki selera musik dan buku yang sama, dan, mudah ditebak, segera tidur bersama. Aku juga berkenalan dengan para tetangga yang kelewat kepo, namun ia bersahabat dengan Oma Jaya, seorang janda yang memelihara seekor ikan mas koki dan bersikeras bahwa si ikan adalah reinkarnasi dari suaminya, Sobron, yang sudah meninggal.

Buku ini aneh, tapi aneh yang membuat geregetan dan penasaran. Kendati si Aku memiliki jalan pikiran yang tidak biasa, tapi aku mendapati diriku banyak memiliki kesamaan dengan dirinya haha. Dalam banyak hal, aku mendapati vibe (apa ya bahasa Indonesianya? Nuansa?) buku ini mengingatkanku pada Killing Commendatore-nya Haruki Murakami. Tokoh utama yang tidak bernama. Tinggal sendirian di rumah yang pemiliknya bahkan tidak ia kenal. Berkenalan dengan tetangga aneh. Dan tentu saja, kemunculan tokoh (makhluk?) yang di luar nalar, yang membuatnya melakukan hal-hal yang juga di luar nalar.

Nuansa kelam dalam buku ini menarik, dengan gaya penuturan khas Andina yang ringan diselipi humor gelap (my kind of favorite, always).

fadhililmi's review

Go to review page

5.0

(4.5/5)

gubahanadn's review against another edition

Go to review page

challenging dark medium-paced